Kudus,Elang Murianews (Elmu)-Air permukaan melimpah, tetapi pemerintah desa (Pemdes) Kajar Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus “berteriak-teriak” warganya kekurangan air. Sedang warga desa selama puluhan tahun tidak merasa kekurangan air untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya. Dengan demikian, Pemdes di bawah komando kepala desa Bambang Totok Subianto (BTS) diduga melakukan pembohongan publik. Seperti dalam pasal 55 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Informasi Publik yang tidak benar atau menyesatkan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)”.
Selain itu Kepala Desa Kajar, beserta Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juwana, Dinas Pekerjaan umum sunber daya alam Jateng, Balai Pengelolaan Sumber Daya Alam Serang Lusi Juwana (Seluna), Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (PUPR) Kudus, tidak menggubris empat hasil kesepakatan tertulis yang mereka tanda-tangani bersama di atas meterai per 15 September 2020.
Empat kesepakatan yang ditanda-tangani di Kantor Desa Kajar tersebut yaitu :Pemdes dan masyarakat sepakat untuk membentuk/mendirikan Badan usaha milik desa (Bumdes) Kajar. Penataan lereng Muria dengan kegiatan konservasi melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Pembangunan tandon/penampungan air dan pipa induk . Serta pembangunan embung utuk irigasi pertanian di blok Tambak Lulang Desa Kajar.
Sedang dinas instansi terkait- dalam hal ini BBWS Pemali Juwana, juga tidak menindak –lanjuti keputusan larangan pengambilan air permukaan di seputar Gunung Muria dengan menggunakan truck tangki air yang dilakukan puluhan oknum warga desa Kajar dan Colo untuk dijual –belikan kepada masyarakat umum di luar desa Kajar dan Colo.
Diduga pengambilan air permukaan tersebut melanggar Peraturan Menteri Kesehatan nomor 2 tahun 2023 tentang peraturan pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 66 tahun 2014 tentang kesehatan lingkungan. Serta undang undang nomor 17/ 2019 tentang sumber daya alam
Mata air Tlogo
Sutikno dan Nasuka, dari Aliansi Masyarakat Desa Kajar, yang sekaligus juga petani desa setempat, Jumat (13/9/2024) mengantarkan Elang Murianews ke dua bak tandon air yang berada di kawasan wisata Kajar.
Satu diantaranya terletak di belakang kantor Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Muria Patiayam. Yaitu dua tandon air dengan bentuk menyerupai sumur. Dan disekojur badan sumur dipenuhi pipa pipa pralon. Dengan kondisi tertutup “dinding “ bambu.
Lalu sekitar 30 meter di belakangnya, terdapat satu komplek tandon air. Berupa bak-bak permanen berbahan baku semen dan dua tandon air dari bahan plastik warna kuning dan biru ukuran besar.
Tandon banyu (air) diperoleh dari mata air/sumber air Tlogo sejauh 3- 4 kilometer dan dihubungkan dengan pipa besi. Pengadaan bak dan pipa besi, berasal dari dana patungan pemerintah desa, tokoh-warga . Sedang mata air berada di lahan milik Perum Perhutani,” ujar Nasuka.
Mata air Tlogo tersebut samasekali tidak pernah mengering, sehigga sepanjang 24 jam mengalir ke bak penampungan di kawasan wisata Kajar, yang semula dikenal sebagai kemah Pramuka. “Kemudian, melalui pipa pralon disalurkan ke sekitar 2.000 rumah penduduk di seluruh Desa Kajar untuk memenuhi kebutuhan air minum, mandi cuci, kebutuhan rumah tangga lain. Itu sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Termasuk untuk kebutuhan pertanian. Selain mata air Tlogo, juga banyak dioperasikan mata air lain yang lebih kecil yang berada di kawasan pedesaan sendiri. Jadi samasekali tidak benar jika penduduk Kajar kekurangan air,” tegas Nasuka.
Hanya saja menurut Sutikno dan Nasuka, ketika sejumlah warga secara diam-diam memanfaatkan bak penampung dan mata air lainnya untuk tujuan komersial. Dengan jalan mengalirkan air ke truk-truk tangki air, kemudian dijual ke warga di luar kawasan Muria.
Satu truk satu kali angkut rata-rata 6.000 liter. Padahal lebih dari 60 truck yang dioperasikan setiap hari, sehingga perhitungan kasar setiap hari ada 60 x 6.000 liter = 360.000 liter air ( 360 meter kubik) permukaan tanah yang tersedot untuk kepentingan bisnis.
Akibatnya secara bertahap, yang paling menderita adalah para petani. Areal pertanian yang semula luasnya sekitar 150 hektar dan ditanami padi, polowijo hingga sayur-sayuran mengering. Hanya bisa ditanami dengan mengandalkan curah hujan.
Meski rata-rata kepemilikan luas tanah pertanian relatif kecil, tetapi itu menjadi lahan penopang utama kehidupan warga. “Saat sang penopang rapuh, bahkan tumbang akibat ulah segelintir warga, maka warga yang semula mengandalkan pertanian harus mencari sumber penghasilan lain. Dan yang lagi marak saat ini tumbuh dan berkembangnya usaha di bidang gethuk. Termasuk mengoptimalkan tanaman perkebunan/buah-buahan,” tambah, “Tumenggung “Fikri, tokoh masyarakat, yang pernah bersama banyak warga menggelar unjukrasa di kantor bupati, kejaksaan Kudus,kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang pada tahun 2017-2018.
Eksploitasi secara masif terhadap sumber air permukaan yang sebagian besar di kawasan hutan milik Perum Perhutani dan sebagian di areal milik warga di seputar Desa Kajar dan Colo, jika tidak secepatnya dihentikan dipastikan semakin banyak yang menjadi korban. Apalagi Pemdes Kajar justru menjadi pemain utama dalam mewujutkan DAK Air Minum 2022 dan SPAM sistem perpipaan 2024.
Korban lainnya yang menyolok adalah menyusutnya debit air air terjun Montel Desa Colo, sehingga tidak lagi menarik minat pengunjung/wisatawan. Padahal air terjun ini salah satu daya tarik utama obyek wisata alam di Colo.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Eksploitasi ialah suatu tindakan pemanfaatan yang dilakukan untuk keuntungan pribadi, penghisapan, pemerasan pada orang lain yang pada dasarnya merupakan suatu bentuk tindakan yang tidak terpuji dan tidak dapat dibenarkan. (sup).