Kudus, Elang Murianews (Elmu)- Kehadiran sinden atau pesinden, salah satu mata rantai yang tidak terpisahkan dari pentas seni. Khususnya dalam pagelaran wayang kulit, wayang wong (orang), ketoprak dan sebagainya. Tak terkecuali ketika Perkumpulan Insan Purnakaryawan Pendidikan dan Kebudayaan (IPPK) dalam rangka ulang tahunnya yang ke-52 tingkat Jawa Tengah menggelar wayang klithik (Wakli) di Taman Krida Wergu Wetan Kota Kudus, Selasa (29/7/2025).
Sebenarnya ada empat pesinden yang mengiringi pagelaran Wakli dengan dalang Sutikno (49), tetapi hanya dua diantaranya yang diminta nembang di hadapan para mantan pejabat anggota IPPK. Pada sesi gara gara atau pada saat transisi adegan tegang/serius. “Sebagai adegan yang diciptakan agar suasana pentas lebih santai. Lebih banyak guyon- gelak ketawa dan tepuk tangan, Itu merupakan pesanan dari pihak pengundang. Oleh karena itu, kami sengaja “mengimpor” dua pesinden dari luar Desa Wonosoco,” tutur Sutikno.
Meski demikian, dua pesinden asli satu grup dengan Wakli, tetap menyinden bersama dua pesinden tamu dalam alur pakem pagelaran. “Memang pensiden kami umurnya tidak lagi muda, tetapi dalam hal kemampuan olah vokal tetap standar. Tidak kalah dengan pesinden tamu yang umurnya lebih muda, lebih cantik- lebih menarik,” tambahnya. Pesinden adalah sebutan bagi perempuan yang nembang (bernyanyi) pada pagelaran kesenian dengan iringan gamelan. Tidak hanya fasih nembang aneka lagu-lagu Jawa, tetapi juga mampu berkomunikasi dengan dalang dan penonton.
Dalam Kamus Bahasa Kawi, sinden juga identik dengan waranggana-artinya bidadari yang mempunyai keindahan seni suara yang dapat dinikmati bagi penikmatnya. Sedang beberapa sumber lainnya yang diperoleh Elmu, kemunculan sinden dapat di telusuri pada kebudayaan Jawa. Yaitu pada peninggalan pada relief candi Borobudur sekitar tahun 1800-an dan candi-candi Prambanan Hindu sekitar tahun 915. Terdapat banyak adegan-adegan gadis-gadis menari, para musisi bermain seruling, sitar, silofon, kuningan, bambu, tanduk, kerang dan simbal serta beberapa orang penyanyi perempuan serta penonton yang menyaksikan.
Cukup banyak perempuan di Indonesia , khususnya di Jawa yang berprofesi sebagai pesinden dan terkenal seperti : Nyi Tjondrolukito, Niken Salindry, Elisha Orcarus, Nyi Supadmi, Nyi Tugini, dan Soimah. Elicha Orcarus –blasteran Minang- Venezuela- Perancis. Sedang sejumlah tembang Jawa popular yang dilantunkan empat pesiden Wakli antara lain Perahu Layar dan Caping Gunung. Adapun syair Caping Gunung sebagai berikut:
Ndek jaman perjuang
Njur kelingan anak lanang
Biyen tak openi
Ning saiki ono ngendi.
Jarene wes menang
Keturutan sing digadang
Biyen ninggal janji
Ning saiki opo lali
Ning gunung
Tak jadongi sego jagong
Yen mendung
Tak silihi caping gunung
Sukur biso nyawang
Gunung ndeso dadi rejo
Dene ora ilang
Nggone podo loro lopo
Terjemahannya.
Ketika masa perjuangan
Ku teringat putraku
Dulu aku rawat
Namun sekarang entah di mana
Katanya sudah merdeka
Terpenuhi apa yang diinginkan
Dulu dia berjanji
Namun sekarang apakah alpa
Di gunung
Kubekali nasi jagung
Kalau mendung
Kupinjami caping gunung
Syukurlah jika dia bisa melihat
Kini gunung desa makin ramai
Hingga takkan hilang
Kenangan dulu ketika susah.(Sup)