Kolak Tela Gula Tumbu, Makanan Khas Kudus

elangmur - Kamis, 9 Oktober 2025 | 10:25 WIB

Post View : 185

Siswanto- juragan Kolak Tela Godang RT 01/RW I Dukuh Wonosari Desa Rejosari Kecamatan Dawe Kudus. Foto Sup

Kudus, Elang Murianews (Elmu)- Sebagian besar penduduk di Indonesia pasti pernah mencicipi kolak, karena makanan ini dikenal sebagai makanan penutup khas Indonesia. Apalagi pada setiap bulan puasa, kolak menjadi makanan wajib saat berbuka. Makanan ini pada umumnya berbahan dasar pisang, atau ketela rambat, singkong. Dipadu dengan santan dan daun pandan (P. amaryllifolius).

     Tetapi di Kudus. Tepatnya di Dukuh Wonosari Desa Rejosari Kecamatan Dawe, terdapat usaha skala rumah tangga yang dikenal dengan “Kolak Tela Godang”. Berbahan baku pohung/singkong/tela. Namun tidak menggunakan santan dan pewangi daun pandan. Juga tidak menyertakan gula pasir, gula jawa, atau gula aren. Melainkan dengan gula tumbu.

Empuk- legit-manis- serta testur menarik dari Kolak Tela Godang. Hanya Rp 15.000,-/ kreneng, berat satu kilogram. Foto Sup

      Gula tumbu, berbahan utama tebu. Dan secara singkatnya proses gula tumbu diawali dari batang-batang tebu yang “dihancurkan “ dengan mesin sederhana. Kemudian menghasilkan tetes tebu, yang dialirkan ke kuali kuali besar dari tanah liat atau dari bahan logam. Lalu digodhok/dimasak, selama 6-8 jam dengan bahan bakar “slamper” (daun tebu kering), ampas ( batang/kulit tebu), potongan kain dan yang lainnya dan menghasikan nira kental.

       Nira kental yang umumnya berwarna coklat ke kuning-kuningan. Kemudian ditampung pada keranjang dan ini yang disebut gula tumbu/gula merah. Jika dilanjutkan pemrosesan akan menjadi gula pasir. Didalam kuali itulah, pohong/singkong/tela yang lebih dahulu “dikuliti”, dipotong potong dengan ukuran panjang 9-10 centimeter. Lalu dimasukkan dalam “kreneng” (semacam tas terbuat dari anyaman belahan bambu berukuran tipis. Setiap kreneng berisi sekitar satu kilogram pohong/singkong/tela. “

     Setelah itu kami masukkan dalam kuali yang penuh nira kental dan kami godhok selama sekitar tiga jam. Dengan tujuan agar masing masing potongan pohong/singkong/ketela menjadi empuk dan gula tumbunya juga meresap secara merata. Selain itu kami juga lebih dahulu membeli pohong/singkong/ketela yang “benar-benar berkualitas”. Pada umumnya yang ditanam di seputar pekarangan rumah mutunya lebih baik.Dibanding yang ditanam di perkebunan,” tutur pemilik usaha Kolak Tela Godang, Siswanto di rumahnya, Rabu ( 8/10/2025).

Tungku, kuali gula tumbu- dan hasil produksi Kolak Tela Godang Dukuh Wonosari Desa Rejosari Kecamatan Dawe Kudus. Rabu ( 8/10/2025) Foto Sup.

     Sebenarnya menjelang akhir tahun 1990 di Kudus dibangun pabrik nira kental, yaitu proses antara menuju produksi gula pasir, milik CV Singosari yang bekerjasama dengan PT Perkebunan Nusantara XV-XVI (sekarang PT Perkebunan Nusantara IX Jawa Tengah). Namun hanya bertahan sekitar lima tahun. Padahal kehadiran pabrik nira kental cukup membantu kalangan perusahaan gula tumbu, petani tebu maupun PT Perkebunan Nusantara IX, khususnya PG Rendeng Kudus.

Rp 1,5 juta/hari.

       Menurut Siswanto, baru sekitar tahun 2019 lebih menekuni usaha Kolak Tela Godang, daripada usaha pembuatan gula tumbu yang lebih dahulu dilakukan. Setelah harga gula tumbu nyaris naik turun tidak menentu sepanjang tahun.”Selain itu modalnya juga jauh lebih besar dibanding dengan usaha memproduksi Kolak Tela Godang. Usaha baru ini juga lebih menguntungkan. Rata-rata bisa terjual 100- 150 kreneng/hari. Bahkan khusus pada hari libur bisa tembus 500 kreneng. Umumnya yang membeli adalah wisatawan Bendung Logung, karena lokasinya berdekatan dengan rumah/tempat usaha saya,” ujar pria kelahiran tahun 1979 yang cukup ramah melayani pembeli.

      Saat tengah ngobrol dengan Elmu, muncul sepasang suami isteri usia lanjut, bersama seorang perempuan sempuh pula. Mengendarai mobil dan membeli 8 kreneng Kolak Tela Godang.

       Untuk saat ini , ia mematok harga satu kreneng Kolak Tela Godang dengan berat rata-rata satu kilogram ini Rp 15.000,- . Dengan demikian penghasilan kotor per hari Rp 1,5 – Rp 2,25 juta. Sedang pada hari-hari libur melonjak hingga Rp 7,5 juta. “ Penghasilan sebanyak itu, belum dikurangi dengan upah 2 (dua) pekerja harian. Pembelian bahan baku dan bahan bakar. Ya lumayanlah untungnya,” tambah Siswanto yang telah dikaruniai dua anak ini.

      Laki laki berkumis dan berwajah ganteng ini, juga membeberkan, Kolak Tela Godang yang mampu bertahan berhari –hari ( tidak cepat berbau) tidak hanya diminati warga Kudus saja. Melainkan juga tembus ke berbagai kota besar di Jawa Tengah. Bahkan sampai Jakarta dan Bali. “Saya mengutamakan mutu bahan baku, mutu produksi dan keramahan . Tidak pelit dalam menularkan “ilmu usahanya”. Sebenarnya pesaingnya juga banyak, tapi saya masih mampu bertahan hingga sekarang,”

 Warisan” budaya”

        Usaha Kolak Tela Godang, jika dirunut menurut Siswanto, berawal dari kebiasaan warga di seputar wilayah Kecamatan Dawe, Gebog dan Bae. Pada umumnya kehidupan sehari-harinya ditopang dari hasil menanam tela/singkong/pohong, tebu dan tanaman perkebunan lainnya. Sebah wilayahnya berada di kawasan Gunung Muria yang berketinggian 1602-1605 meter di atas permukaan laut.

       Di kawasan ini, banyak ditemukan pegusaha gula tumbu, sehingga warga seputar lokasi usaha, sering numpang “nggodhok” tela pohung di kuali gula tumbu dan sekaligus sambil ngobrol “ngalor ngidul”.Dan kebiasaan itulah akhirnya dipraktekkan Siswanto menjadi sebuah usaha baru yang lebih menguntungkan.

      Menurut Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Kabupaten Kudus, Budi Santoso, jumlah perusahaan gula tumbu di wilayah kerjanya pada tahun 2015 mencapai 308 unit yang menyerap tenaga kerja sekitar .1540 orang dan produksi rata-rata per tahun 11.818,8 ton/tahun/musim giling. Sedang areal tanaman tebunya berkisar 5.900 – 6.900 hektar/musim tanam. Sebagian besar berada di wilayah Kecamatan Dawe, Gebog dan Bae.

        Belum diketahui secara pasti, apakah data tersebut sudah berkurang atau bertambah. Namun melihat selintas di tiga kecamatan itu, denyut kehidupan usaha gula tumbu masih cukup kental. Ditandai dengan asap hitam mengepul yang bisa dilihat dari jarak jauh. Kemudian ketika mendekat, tercium aroma gula tumbu yang khas wangi-lembut,

      Sementara di areal terbuka terlihat tanaman singkong, tebu, kapuk randu hingga aneka macam pohon penghijauan dan buah-buahan. Meski pada setiap bulan Agustus, merupakan puncak masa panen tebu dan singkong. “ Namun bagi saya, tidak menjadi kendala kekurangan bahan baku. Kendalanya saat musim penghujan. Wisatawan yang berkunjung ke bendung Logung sudah pasti sepi. Begitu pula pembeli atau pelanggan lain. “ ujar Siswanto.(sup).

Halaman:

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

img single