Kudus, Elang Murianews (Elmu)- Komite Olahraga Nasional Indonesia (Koni) Kabupaten Kudus seharusnya bersikap tidak menggantungkan dana hibah dari pemerintah kabupaten (Pemkab) setempat, Namun lebih kreatif mencari sumber dana lain atau pihak ke-3 yang tentu saja tidak melanggar peraturan perundangan yang berlaku. Ketergantungan dana tersebut, dipastikan berdampak buruk terhadap perkembangan hingga prestasi para atlet-cabang olahraga. Apalagi sistem- proses pengajuan hingga realisasi dana hibah itu diwarnai politik transaksional.
Hal itu ditegaskan mantan anggota DPRD Kudus, Sururi Mujib, yang kini menjabat sebagai Direktur Lembaga Kajian Strategis Kudus (LKISS) dan mantan Ketua Koni Kudus Antoni Alfin yang dihubungi secara terpisah Sabtu ( 30/11/2024). Guna menanggapi dana hibah Koni Kudus 2025 sebesar Rp 1 miliar.
Menurut Sururi, dana hibah ibaratnya sekedar “sak pawehe, sak karepe dhewe” (ala kadar, semaunya) dari pihak pemberi (Pemkab). Ini ditengari dengan realisasi dana yang jauh lebih kecil dibanding yang diusulkan Koni. “ Ironisnya lagi proses dan pelaksanaan dana hibah kental dengan nuansa politik transaksional. Saya menangkap kesan , pihak Koni tidak mengawal , tidak berkomunikasi secara intens dengan Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (Disdikpora) selaku pengguna anggaran. Juga kepada Tim Anggaran Pemerintah Daerah , penjabat bupati dan Badan anggaran (Banggar) DPRD. Padahal untuk mendapatkan dana hibah , kuncinya di tangan mereka,” tegasnya.
Ia menambahkan, jika Koni Kudus dalam hal ini sang ketuanya Sulistiyanto kerap berkomunikasi, ia yakin Koni akan memperoleh dana hibah paling tidak separo dari yang diusulkan. Dana yang diusulkan Rp 13,7 miliar, tetapi yang disetujui hanya Rp 1 miliar.
Dari kalangan pengurus Koni sendiri membenarkan, jika Sulistiyanto bersikukuh tidak mau “bermain mata” dengan pihak–pihak yang terkait dengan dana hibah. “ Kami akui itu sikap yang baik, profesional dan sesuai semangat olahraga yang menjujung tinggi norma sportivitas. Tetapi dia/kami belum memiliki modal mandiri. Kami kalah dengan politik transaksional. Seandainya mau lentur sedikit saja, pasti tidak seburuk ini jadinya,” tutur salah satu pengurus Koni yang meminta untuk tidak disebutkan irdentitasnya.
Politik transaksional merupakan suatu sistem politik yang egoistis karena mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan tanpa menghiraukan beban penderitaan rakyat.Politik Transaksional bisa berupa uang atau barang.
Sedang kondisi Koni senidiri lemah. Dalam anggaran dasar dan rumah tagganya (AD-ART) Koni Pusat tahun 2020 pasal 38 menyebutkan sumber keuangan organisasi berasal dari : 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah; 2. Iuran dari Anggota; 3. Sumbangan-sumbangan lain yang tidak mengikat. 4. Usaha-usaha lain yang sah dan tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta perundang-undangan pemerintah yang berlaku . “ Koni bisa merapat ke perusahaan besar-menengah di Kudus, untuk merayu perusahaan agar bersedia menjadi “bapak asuhnya” atau menjadi sponsor. Memang tidak mudah. Tapi bisa ditembus dengan mengetengahkan profesionalisme, keterbukaan dan kejujuran,” saran Sururi dan Antoni.
Sejumlah perusahaan di Kudus, seperti PT Djarum telah berpartisipasi aktif di cabang olahraga bulutangkis, sepakbola wanita, panahan, bridge, sekolah sepakbola (SSB). Lalu PT Sukun lewat tenis meja, bolavoli, sepakbola perserikatan. Dan yang terkini, Pura Group Kudus membangunkan lapangan tembak bertaraf nasional beserta fasilitasnya. Sedang perbankan pemerintah dan swasta belum tersentuh.(Sup).