Kudus Kota Santri, 199 Pompes, 3.138 Santri

elangmur - Senin, 20 Oktober 2025 | 19:45 WIB

Post View : 64

Menara Kudus menjelang pagi hari- foto dokumen Sup.

Kudus, Elang Murianews (Elmu) – Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober  ditetapkan melalui Keputusan Presiden Republik Indoneaia  nomor 22 tahun 2015. Dan pada tahun 2025, merupakan HSN ke – 10 yang bertema Mengawal Indoensia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.

           Sedang  agenda HSN di Kabupaten Kudus, dimulai Selasa – Rabu ( 21-22/10/2025). Dengan  lima kegiatan utama. Yaitu, Pameran produk UMKM di seputar pertigaan jalan arah Menara Kudus, Sarasehan Hari Sant di pondok pesantren Roudlutut Tholibin Bendan, Jawa Tengah Bersholawat di Alun Alun Simpang Tujuh,  Apel HSN di Alun Alun Simpang Tujuh  dan Cek Kesehatan Gratis  di pendopo kabupaten  Rabu 22/10/2025.

           Mengutip Buku Profil Pesantren Kudus yang digagas dan diterbitkan atas kerjasama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kudus dengan Central Riset dan Manajemen Informasi (Cermin) tahun 2005, yang antara lain menyebutkan : Kudus memang lebih dikenal sebagai Kota Kretek. Sedang sebutan Kota Santri atau Kota Al-Qur’an jarang mengemuka. Meski secara empiris Kudus, memiliki tradisi dan budaya religius warisan Sunan Kudus dan Sunan Muria.Terlebih lagi Kudus memiliki pesantren yang karakteristiknya sangat spesifik serta lebih menonjol dibanding pesantren di kota lain.

           Selain itu , dalam buku setebal  206 halaman ini, yang ditangani  tim penyusun yang terdiri tenaga ahli peneliti, seperti EM Nadjib Hassan, Ulil Albab Arwani, Hasyim Asyari, Ihsan, Saekhan Muchit, Abdul Jalil, dan  11 asisten peneliti, juga mengungkapkan : Meski dikenal sebagai lembaga pendidikan  tradisional, tetapi pesantren selalu memiliki pemikiran future orinted,karenanya pesantren tetap kokok di tengah  modernisasi  pendidikan. Bahkan sejak era 1980 an, pesantren di Indonesia semakin menarik dan mendapatkan perhatian kian signifikan. Khususnya di Jawa.

             Kudus sebagai kota kecil yang memiliki 86 pesantren(data tahun 2005, tahun 2016, tahun 2020 meningkat menjadi 114 dan tahun 2025 tercatat  199 dengan jumlah santri  3138  orang) yang kesemuanya adalah pesantren produktif, sangat beralasan untuk diberdayakan sebagai sarana pengembangan dan pembangunan daerah. Produktivitas tersebut dapat dilihat secara manajerial, kurikulum, kepemimpinan, alih generasi, rekrutmen guru dan santri, secara proses pendidikan dan pembelanjaran di dalamnya.

          Pesantren di Kudus memiliki dua pola khas yang menonjol. Pertama : pesantren terbuka, ditandai dengan  adanya kiai yang tidak memiliki pesantren, tetapi memiliki  kualifikasi sebagai pengasuh pesantren  dengan berbagai kemampuan dan kharisma. Kedua : pesantren alternatif, dengan ciri adanya sejumlah lembaga pendidikan yang potensial di sekitar pondokan dan diselenggarakannya pengajian kitab salaf  oleh kiai yang belum tentu  bermukim di pondokan tersebut. Selama ini , pesantren dengan spesifikasinya hanya disosialisasikan secara lisan,  belum tersosialisasikan melalui media tulis yang cukup memadai. Oleh karena itu, penelitian tentang profil pesantren menjadi jawaban riil terhadap kebutuhan tersebut.

Rombongan-anak anak pesantren saat melewati komplek Menara Kudus. Foto dokumen Sup

            Dalam kerangka konseptual,  persoalan pendidikan menjadi salah satu bidang yang diotonomikan, namun dengan otonomi tersebut, madrasah dan pesantren menghadapi masalah pelik. Status pesantren  sebagai lembaga pendidikan yang berada di bawah Departemen Agama  baru terakomodasi secara jelas  pada tahun 1989 dengan dibentuknya  Sub Bagian Pondok Pesantren. Kenyataan tersebut adalah respon yang serius  dari pemerintah  untuk bersama-sama  dengan masyarakat memberdayakan pesantren. Hal yang pasti , pesantren  sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki urgensi yang sama dengan  pendidikan nasional. Artinya, pesantren sebagai sub sistem  pendidikan nasional  juga bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa  dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia  yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur. Memiliki  pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab  kemasyarakatan  dan kebangsaan.

           Asumsi ini didasarkan atas kecenderungan masyarakat  yang mulai kritis dalam memilih lembaga pendidikan. Oleh karena itu, kualitas pendidikan  menjadi alasan utama  dalam memilih lembaga pendidikan. Logika ini  tentunya dapat dimengerti, karena pendidikan  bagi siapapun  merupakan human investment. Bila pesantren dikelola secara profesional, dalam arti  mampu memberikan  apa yang diinginkan masyarakat, maka menjadi  keinginan kita bersama lembaga pendidikan ini menjadi lembaga  pendidikan alternatif bagi orang tua yang selalu dihantui kenakalan  dan dekadensi moral di kalangan remaja serta masa depan  mereka.

             Jika semula pendidikan  dan pengajaran di pesantren hanya ditekankan  pada pengusaaan yang cukup untuk kebutuhan  taqarrub ila Allah semata, maka pada masa berikutnya  pendidikan  dan pengajaran pesantren  memiliki  fungsi kemasyarakatan  yang lebih luas dan dipergunakan  untuk melakukan transformasi  sosiokultural secara menyeluruh. Pesantren  sebagai lembaga pendidikan  dan lembaga sosial , tumbuh subur, terutama di sudut-sudut pedesaan. Berkembangnya pesantren  di pedesaan adalah sebagai akibat  dari marjinalisasi  dan tekanan penguasa pada saat itu.

              Setelah sekian lama dikuasai  penjajah, pesantren  tersisih ke pelosok pedesaan dan bahkan pedesaan  menjadi mind set pesantren. Oleh karena itu pesantren berakar dan menjadi bagian dari kehidupan  dan budaya masyarakat desa.  Dengan demikian  pesantren menjadi lembaga pendidikan  yang efektif  untuk melaksanakan  proses pembangunan  yang berbasis  masyarakat  ( Kuntowijono, 1991 :246 ) (sup)

Halaman:

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

img single