Kudus, Elang Murianews- Konsep pembangunan Citywalk Jalan Sunan Kudus (CJSK) yang berkiblat pada Jalan Malioboro Jogja, akhirnya tinggal menyisakan papan nama dan jalan menjadi lebih lebar. Berbagai macam “ pernak pernik” sempat membuat kagum sebagian masyarakat Kota Kretek- terutama di malam hari lenyap entah ke mana. Padahal pembangunannya menelan biaya sekitar Rp 14 miliar lebih di tahun anggaran 2020- ketika era pejabat bupati/bupati di tangan Hartopo.
Hartopo/ Pemkab Kudus berkeinginan sebagian Jalan Sunan Kudus- tepatnya jalan sepanjang 526 meter. Dihitung dari bundaran Alun Alun Simpang Tujuh Kudus, hingga tepi jembatan Kali Gelis ( ke arah barat), mau “disulap” menjadi kawasan perdagangan dan wisata seperti Malioboro.
Malioboro nama sebuah jalan di jantung Kota Gudeg. Yaitu sejak seputar Stasiun Kereta Api Tugu- lurus ke selatan mentok sampai Kantor Pos Besar sepanjang sekitar dua kilometer. Dibangun Pemerintah Hindia Belanda awal abad ke-19 sebagai kawasan pusat perekonomian dan pemerintahan. Malioboro sendiri berasal dari bahasa sansekerta malyabhara yang berarti karangan bunga.
Adapula beberapa ahli yang berpendapat asal kata nama Malioboro berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama Marlborough yang pernah tinggal di Jogja pada tahun 1811- 1816 Masehi.
Sedang Jalan Sunan Kudus, mengambil nama dari Sunan Kudus , yaitu sejak Alun Alun Simpang Tujuh ke barat hingga perempatan jalan Jember. Sunan Kudus atau Ja’far Shodiq sendiri adalah salah satu diantara Wali Sanga (9) yang disemayamkan di komplek Masjid Menara Makam Sunan Kudus di Desa Kauman Delapan diantaranya adalah Maulana Malik Ibrahim (Gresik), Sunan Ampel (Surabaya), Sunan Bonang (Tuban/Rembang), Sunan Giri (Gresik), Sunan Drajat (Lamongan), Sunan Kalijaga (Kadilangu Demak), Sunan Muria (Colo Kudus) dan Sunan Gunung Jati ( Cirebon).
Selain itu Sunan Kudus juga menjadi kunci ditetapkannya hari jadi Kota Kudus. Terkait ketika Sunan Kudus membangun masjid Al Aqsa atau juga disebut masjid Al Manar. Yaitu pada Senin Pahing tanggal 1 Ramadan tahun 956 Hijriah atau tanggal 23 September 1549 Masehi, melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 11 Tahun 1990 tentang Hari jadi Kudus yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990, pada era Bupati Kolonel Soedarsono.
Dan sebelum ditetapkan sebagai CJSK, sudah dikenal sebagai salah satu pusat bisnis. Sebagian besar dihuni warga etnis Tionghoa. Diantaranya ayah-ibunya legenda bulutangkis Liem Swie King. Juga terdapat salah satu diantara rumah kembar milik Raja Kretek Nitisemito dan komplek lembaga pemasyarakatan.
CJSK dibangun dengan cara antara lain : pelebaran jalan . Trotoar kanan kiri dibangun ulang. Dengan gorong-gorong yang lebih lebar dan dalam, sehingga mempercepat arus pembuanga air hujan ke Sungai Gels. Lalu dilengkapi dengan puluhan tiang lampu hias dari bahan kuningan (diragukan kebenarannya). Dan setiap tiang didesain menyerupai “angkringan soto Kudus”. Khusus di sisi selatan dinding Lembaga Pemasyarakatan (LP) dibangun tempat untuk duduk, tempat nyantai, tempat untuk berfoto ria, atau tempat “kongko –kongko”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kongko sebagai: bercakap-cakap yang tidak ada artinya; mengobrol; Dan kongko-kongko sebagai: duduk santai dengan pembicaraan yang tidak menentu ujung pangkalnya (beberapa orang bersama-sama).
Lalu di sisi utara jalan dibangun puluhan tempat bak tempat cuci bagi pedagang kaki lima yang sebagian besar menjajakan “sega tahu/nasi tahu”- salah satu makanan khas Kudus. Berupa nasi putih atau lontong dengan lauk gorengan tahu bercampur telor ayam dan bisa menambah dengan keripik/peyek udang. Puluhan pedagang kaki lima tersebut , masing masing sempat diberi fasilitas tenda gratis dari salah satu perusahaan rokok di Kudus.
Selain itu di sisi kanan kiri jalan ditanami puluhan pohon tabebuya dengan warna bunga pink, kuning,putih dan merah. Namun sampai dengan awal Mei 2024, sebagian besar pohon tersebut belum berbunga. Tabebuya berasal dari Brazil dan berhasil ditanam, tumbuh subur serta berbunga indah warna warni di ruas ruas jalan utama Kota Surabaya pada 2018.
Beda pendapat.
Sampai dengan awal Mei 2024, atau sekitar tiga tahun empat bulan sejak CJSK diresmikan, belum /tidak diketahui penyebab gagalnya proyek yang secara serampangan ingin njiplak, meniru Malioboro.
Saat CJSK dalam proses pembangunan, Moch `Rosyid, pemerhati sejarah dan budaya IAIN Kudus, menyatakan CJSK bukan proyek pembangunan yang penting atau prioritas, atau bukan proyek pembangunan yang mendesak. Sebab minim manfaatnya dibanding besaran biaya yang dikeluarkan.
Sedang menurut Hendi Hendro dari Universitas Muria Kudus (UMK), Minggu malam (5/5/20244), semestinya pemkab Kudus perlu memperbaiki sarana prasarana dan fasilitas yang rusak dan hilang. Serta mengembangkan CJSK menjadi suatu area publik yang menarik untuk menambah keasrian dan keindahan kota Kudus. “ Kita tidak perlu mempermasalahkan siapa pencetus ide awalnya, jika itu dipandang baik dan untuk kemaslahatan masyarakat, kenapa tidak diteruskan,” ujarnya.
Lalu Hendi yang juga dikenal sebagai Ketua Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Fakultas Pertanian UMK ini memambahkan , “ Kita perlu mengembangkan kota Kudus menjadi kota yang modern, religius dan menarik serta memberikan kenyamanan bagi warganya. Apalagi dalam isue pemekaran provinsi Jawa Tengah, yang akan dibagi menjadi beberapa provinsi, Kudus akan dijadikan ibukota Provinsi Muria Raya,Untuk itu Kudus perlu berbenah, menata kotanya, supaya layak dan siap menjadi ibu kota provinsi,” (sup)