Kudus, Elang Murianews (Elmu)- Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Kudus, Suharso menyatakan kasus Hotel Sato bagai benang ruwet yang harus diurai dengan cara “kocok” ulang. Sebab, kasusnya muncul ketika dia belum menjabat sebagai Kepala DPMPTSP. Atau saat Kepala DPMPTSP berada di tangan Revlisianto Subekti dan Bupati Kudus Hartopo.
Itu sangat tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Tidak juga seperti pesulap dengan bim salabim. Lalu bagi Benny Gunawan Ongkowidjoyo, yang menjadi korban utama pembangunan Hotel Sato, semakin jengkel, karena sebagian rumah tidak bisa difungsikan sejak sekitar empat tahun terakhir.
Sementara pemilik Hotel Sato, Lie Souw Tjoe, paling diuntungkan. Sebab, dia mampu membangun hotelnya yang berlantai enam. Dan sekaligus sudah dioperasikan untuk umum sejak sekitar dua tahun- sekaligus memperoleh sumber penghasilan.
Sampai sekarang belum terungkap berapa besar modal yang dikucurkan Lie Souw Tjoe untuk membangun hotel berbintang dengan salah satu fasilitasnya berupa kolam renang di lantai enam. Namun mengutip dari Traveloka, hotel yang berada di Jalan Pemuda nomor 77 masuk Desa Kramat Kecamatan Kota Kudus ini, bagian dari 18 hotel yang ada di dalam Kota Kretek.
Proses pembangunan hotel seluas 360 meter persegi ini sejak awal sebenarnya sudan bermasalah. Sebab, sejumlah tetangga menyatakan menolak. Namun entah bagaimana caranya, ketua Rukun Tetangga (RT) setempat membuat surat pernyataan tertulis tidak keberatan.
Lalu diikuti dengan begitu mudahnya, instansi terkait tentang pembangunan hotel. Seperti Dinas Pekerjaan Umum Pemukiman dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dn Lingkungan Hidup (PKPLH), Dinas Perhubungann (Dishub) memberikan rekomendasi, sehingga muncul ijin mendirikan bangunan (IMB).
Lalu munculah sengketa antara pemilik hotel Sato, dengan tiga warga , Benny Gunawan, Benny Junaedi, dan Wiwiek Kurniawan. Rumah Benny Gunawan berada di samping kiri/timur hotel dan rumah Benny Junaedi serta Wiwiek Kurniaawan berada di samping kanan sisi belakang (utara). Ketiga rumah itu rusak akibat pembangunan Hotel Sato.
Dan yang paling parah rumah Benny Gunawan. Sebagian ruang depan samping kanan ( barat) yang difungsikan untuk toko onderdil/suku cadang mobil, sekaligus gudang, garasi, kamar tidur, rusak parah, sehingga tidak bisa ditempati. Khawatir ambruk. Pak Benny yang berambut gondrong, mantan anggota Perbakin Kudus, mengalihkan tokonya ke ruang sebelah timurnya. Termasuk dua mobil ( satu mobil tipe sedan dan jeep) terpaksa tidak bisa dioperasikan (keluar masuk). Sebab, ruangan itu sudah disangga sejumlah balok kayu dan bamboo sebagai upaya untuk menjaga jangan sampai ruangan ini jebol. “Tapi entah kapan bisa bertahan seperti ini, karena bangunan hotel Sato sudah miring ke arah barat. Lantai rumah saya juga mulai ikut ambles secara per lahan,” tuturnya saat ditemui Elmu, Kamis siang ( 29/8/2024),
Sengketa iu berlanjut ke Pengadilan Negeri Kudus, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, Semarang, hingga Mahkamah Agung. (MA). Dan MA dalam keputusannya nomor 212/PK/TUN 2023 tqnggql 15 Desember 2023, membatalkan dan sekaligus mencabut IMB Hotel Sato.
Ketika keputusan MA sudah berjalan hampir delapan bulan terakhir, nyaris tidak ada hal hal yang siginifikan terhadap Hotel Sato maupun rumah Benny “perbakin”. Kecuali baru pada Kamis siang ( 29/8/2024) ada rombongan dari DPMPTSP, Satuan polisi pamong praja (Satpol PP), PUPR, PKPLH dan sejumlah anggota polisi yang tidak mengenakan seragam, melihat dari dekat rumah Benny dan Hotel. Polisi daerah (Polda) Jateng berencana memproses kasus ini dari sisi pidananya.
Benny yang sudah berusia lanjut ini dengan ramah mempersilahkan rombongan untuk “meneliti” ruang demi ruang rumahnya. Salah satu anggota Satpol PP membawa meteran dan tampak “ukur mengukur”. Begitu pula ada salah satu anggota rombongan yang naik tangga ke atap rumah.
Rumah Benny tergolong luas. Di bagian belakang terdapat dua lahan yang antara lain dimanfaatkan untuk pot-pot bunga dan tanaman. Termasuk ada sejumlah tanaman berbatang tinggi dan berdaun lebat. Juga ada dua kandang untuk dua satwa langka.
Jika rombongan itu jeli, maka sebenarnya bisa dilihat secara kasat mata tentang begitu banyaknya rekahan tembok rumah Benny yang hingga empat tahun terakhir belum pernah diperbaiki. Dinding hotel bagian samping kiri (timur) yang menyatu dengan tembok rumah Benny.
Ketika rombongan beranjak beralih meninjau Hotel Sato, dua wartawan yang sejak awal mengikuti proses kasus hotel dilarang pihak hotel untuk ikut masuk ke dalam hotel. Sehingga tidak tahu secara langsung keberadaan kolam renang yang disebut-sebut berada di lantai enam.
Keberadaan kolam renang dan lantai enam ini, pada awalnya tidak seuai dengan IMB. Dan bangunan ini diduga sebagai pemicu utama miringnya Hotel Sato ke arah barat. Beban bangunan dan air kolam renang sepanjang waktu menekan ke arah bawah (terutama ), hingga akhirnya mencapai titik nol (keseimbangan).
Selain itu juga tidak diketahui secara pasti tentang sanitasi yang banyak mengoperasikan kamar mandi dan WC. Jika mengacu pada penjelasan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirto Muria, hotel ini memang tercatat sebagai pelanggan . Namun dari sisi teknik, air PDAM tersebut tidak bisa dioperasikan di ruang bertingkat. Apalalgi bertingkat enam dan pemasok air kolam renang. Butuh peralatan khusus, hingga diduga pihak hotel mengoperasikan sumber air dalam untuk memenuhi kebutuhan airnya. Lalu pembuangan limbah cair ini dikemanakan.
Itu semua semua merupakan kondisi riil bagai benang ruwet yang dihadapi Suharso. Bagi seorang Benny Gunawan Ongkowidjojo, hal itu diserahkan sepenuhnya kepada Tuhannya. “Saya selalu yakin Gusti Ora Sare (Tuhan tidak pernah tidur). Saya hanya berserah kepadaNYA. Itu pasti yang terbaik,” tuturnya sembari tersenyum dan terkadang juga diselingi tawa renyah.(sup).