Jepara,Elang Murianews- Kini tengah berlangsung proses “perang tanding” antara oknum wartawan dengan oknum kepala desa/petinggi di Kabupaten Jepara. Melalui kuasa hukumnya kedua oknum itu saling melaporkan ke Polres Jepara. Sedangkan puluhan kepala desa atau di Jepara disebut petinggi mengadu ke kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jepara, Selasa (4/6/2024). Perang tanding tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika masing-masing oknum menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Wartawan menurut kamus besar bahasa Indonesia : orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat dalam surat kabar, majalah, radio, dan televisi; Atau secara umum :sebuah profesi yang tugasnya mencari, meliput, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada orang banyak melalui media masa.
Wartawan Indonesia memiliki kode etik yang ditetapkan Dewan Pers,yaitu : Menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. 2. Menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.3 Menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.4. Tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.5. Tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.6. Memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan. Dan 7. Segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
Sedang Kepala Desa, berdasarkan UU No. 6 tahun 2014 Pasal 26, bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Ada pula yang menyebut :Kepala Desa adalah pejabat Pemerintah Desa.
Wartawan abal abal
Baru dari pengertian dasar dan kode etik wartawan itu saja sebenarnya sudah menunjukkan bahwa menjadi wartawan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi kesehariannya bekerja sebagai tukang pijat, tukang amplas, satuan pengamanan (satpam) atau profesi lainnya. Bahkan banyak pula yang merangkap jadi Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) atau sebaliknya.
Padahal LSM, memiliki tugas dan fungsinya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas, yang tentu saja berbeda dengan profesi wartawan. Ini menjadi tumpang tindih, salah kaprah yang nampaknya sengaja dimunculkan oknun wartawan dan oknum LSM. Jadi kapan ada waktu untuk mencari, meliput dan menulis berita.
Jika toh ada waktu luang untuk menulis berita, prosesnya belum final. Sebab harus ada media yang menampung, memuat beritanya. Dan berita baru bisa diturunkan/dipublikasikan ketika mengikuti prinsip dasar penulisan berita yang dikenal dengan 5 W dan 1 H. Yaitu what (apa), who (siapa), when (kapan), where (di mana), why (mengapa), dan how (bagaimana).
Sedang dalam mengawali proses mencari, mengumpulkan bahan berita, sudah sering atau biasa ditemukan banyak sekali pelanggaran. Dalam konteks ini “perang tanding” oknum wartawan dengan oknum petinggi.
Oknum wartawan diduga tidak memiliki data akurat. Tidak cakap dalam menggali berita dan lebih menekankan di luar unsur mencari berita. Sedang oknum petinggi pada umumnya tidak begitu paham tentang undang undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. Jika kedua oknum ini benar benar telah menjalankan tugas pokok dan fungsinya tidak akan terjadi “perang tanding”.
Atau lebih sederhananya, ketika wartawan ke Kantor Pemerintahan Desa mencari dan atau mengkonformasi berita. Lebih dahulu “kula nuwun” memperkenalkan diri. Tunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu pers yang asli dan tentu saja belum kadaluwarsa. Lalu utarakan maksud dan tujuan.
Jika pihak Pemerintahan Desa juga tidak keberatan dan akhirnya memberikan keterangan itu artinya tahap pertama selesai. Dan menyusul tahap kedua, menulis berita yang didapatkan dari pemerintahan desa. Dengan dilengkapi bahan bacaan dari buku, internet, nara sumber lain terkait berita yang akan ditulis.
Kemudian tahap ketiga, hasil tulisan dikirim ke penerbitan cetak atau online. Setelah dimuat/ditayangkan, hasilnya kirim ke pemerintahan desa sebagai bukti , wartawan sudah menjalan tugas profesionalnya. Jika semua itu tidak dilakukan, itu yang biasa yang disebut wartawan abal abal
Sedang pihak pemerintahan desa, jika memang sudah memahami undang undang keterbukaan informasi publik pasti akan memberikan data yang diminta wartawan. Tentu saja ada hal hal tertentu yang menyangkut off the record. Yaitu segala informasi dan atau data dari pemerintahan desa sebagai nara sumber tidak boleh dipublikasikan. Cukup hanya sekedar untuk diketahui wartawan. Batasan off the record tersebut tidak berlaku, misalnya pada hal hal yang menyangkut korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sebenarnya jika hal hal yang mendasar tersebut dipenuhi kedua belah pihak, hampir dipastikan tidak akan terjadi perang tanding. Kabupaten Jepara yang memiliki 183 desa dan 11 kelurahan yang tersebar di 16 kecamatan, tentu diantaranya memiliki plus minus yang layak untuk ditulis, untuk dipublikasikan.
Perang tanding juga bisa diselesaikan dengan “baik-baik saja”, jika Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan organisasi wartawan di luar PWI, kepala desa yang difasilitasi Dinas Kominfo Jepara “duduk satu meja “. Berembug, bermusyawarah, mencari jalan terbaik. Memang tidak mudah, tapi nampaknya perlu dicoba.
Sedang mengutip dari Murianews, Ketua PWI Kabupaten Jepara, Budi Santoso yang menemui para kades, menyatakan prihatin dengan apa yang terjadi terkait aktifitas jurnalisme di Kabupaten Jepara. Pihaknya tidak menampik jika praktik-praktik seperti itu memang terjadi di Jepara.
Pihaknya juga bisa memahami jika akhirnya para kades akhirnya merasa resah dan tidak nyaman. Kepada para kades, Budi Santoso menyampaikan tidak perlu takut untuk menghadapi oknum wartawan seperti itu.”Silahkan dilaporkan ke pihak berwenang jika memang tindakan dari oknum wartawan itu memang tidak lagi mengindahkan kode etik, hukum, moralitas dan sopan santun dalam kegiatan jurnalistiknya. Tidak perlu takut,” ujarnya. Tidak sekedar prihatin tentunya, tapi bisa menunjukkan langkah konkrit di lapangan. (sup).