Satu Suro di Gunung Rahtawu

elangmur - Jumat, 27 Juni 2025 | 21:41 WIB

Post View : 272

Cungkup - eyang Modo, Patih Gajah Mada di dukuh Semliro Desa Rahtawu.

Kudus, Elang Murianews (Elmu) – Sekitar 7.000 orang warga Kudus, Demak, Semarang, Purwodadi , Jepara dan Pati, sepanjang Kamis ( 26/6/2025) hingga Jumat (27/6/2025)  “membanjiri “ Desa Rahtawu Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus untuk  merayakan satu suro ( penanggalan Jawa) yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram,1447 Hijriah , Jumat Kliwon (27/6/2025).

           Menurut Sekretaris Desa (Sekdes) Rahtawu, Agung, Jumat petang, jumlah pengujung tersebut dibanding acara syuran 2024, lebih ramai. “Pada umumnya  mereka menuju  petilasan yang ada . Seperti, Eyang Sakri, Loko Joyo, Abiyoso, Eyang Modo, hingga sendang Bunton. Sebagian besar naik motor, sebagian bermobil.  Kami pihak pemerintah desa memungut retribusi Rp 3000,-/orang,” tuturnya.

         Meski gelombang warga  yang menuju Desa Rahtawu, sekitar 15 kilometer sebelah barat Kota Kudus ini cukup besar, namun nyaris aman terkendali.  Apalagi cuaca seputar Gunung Rahtawu ini  cukup bersahabat. Selain merayakan satu syuro, sebagian  pengunjung juga memenuhi berbagai lokasi obyek wisata maupun warung makan-minum , yang sebagian besar berada di badan-tepi  Sungai Gelis.  Sungai sepanjang 33 kilometer yang berhulu di seputar Puncak Sanga Likur dan bermuara di Spiilway (bangunan pelimpah) Dukuh Goleng  Desa Pasuruhan Lor Kecamatan Jati.

          Suripto, pria sepuh yang mengaku dari Mranggen (Demak), membenarkan hampir setiap satu suro menyempatkan diri  mengunjungi Desa Rahtawu. Hanya saja karena phisiknya kurang memadai, ia dan  sejumlah rekannya hanya berziarah ke petilsan Eyang Sakri. Ketika kondisi  phisik masih cukup kuat, Suripto dan kawan-kawan selalu  mencapai Puncak Sangalikur.

Eyang/Mbah Mada

        Gajah Mada dikenal sebagai panglima perang dan mahapatih kerajaan Mojopahit. Lalu sebagai pencetus Sumpah Palapa dan prasasti Gajah Mada pada tahun 1351 yang  saat ini tersimpan di Museum Gajah di Jakarta . Serta masih banyak lagi cerita dan sejarah Gajah Mada yang wafat pada tahun 1364.

          Cungkup eyang Modo ini terletak di atas pemakaman umum . Untuk mencapai lokasi ditempuh dari depan Kantor-Balai Desa Rahtawu. Dengan naik mobil, atau motor selama sekitar  20  menit. Jalannya menanjak dan diselingi banyak tikungan tajam. Di bagian depan ada  regol  dan di mukanya  ada sebuah warung, serta  lahan kecil ( hanya beberapa meter persegi) dan sebuah “kursi panjang” dari bahan bamboo.

            Dari halaman dan depan regol tersebut, sebatas mata memandang terlihat sejumlah bukit bukit dari Gunung Rahtawu yang berketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut. Sebelum memasuki cungkup, bangunan ini mirip dengan bangunan Masjid Agung Demak. Jika arsitektur bangunan  Masjid Demak “ bersap”( berundak) tiga, maka bangunan  di Eyang Modo ini hanya dua.

          Keduanya menunjukkan akulturasi budaya lokal Jawa, Hindu-Budha, dan Islam : Atap tumpang mirip punden berundak, menunjukkan hasil budaya lokal prasejarah di Indonesia. Atap tumpang ganjil, sama dengan tingkat bangunan pura Hindu berjumlah 3-11 tingkat. Selain itu, bentuk meru segitiga sebagai lambang persemayaman dewa dalam kepercayaan Hindu. Budaya Islam dilihat dari fungsinya sebagai tempat ibadah umat Islam . Patih Gajah Mada sendiri menganut  agama Saiwa  atau Siwa Budha.

       Lalu ketika memasuki cungkup yang lebarnya sekitar 10 meter dengan panjang sekitar 30 meter ini, berupa ruang terbuka atau ruang tamu. Berlantai  keramik warna kecoklatan. Berdinding tembok bercat kuning dengan jendela kayu di kanan kiri, Lalu terlihat  empat tiang kayu jati sebagai soko guru. Persis di bagian tengah, disekat dengan sebuuah pintu kayu berukir.  Di sebelah kanan pintu terlihat tulisan  Petilasan Eyang Patih Gajah Mada/ Eyang Buyut Modo . Di bagian atasnya terlihat ornament ukir berupa mirip dua ekor ular , namun  bentuk kepalanya berbeda.

       Kemudian di bagian samping kiri pintu, nampak juga tulisan Romo Soeprapto Topeng Mas/ Begawan Mintorogo Sidik Pramono Jati. Di bagian atasnya juga nampak ornament ukir. Sedang di atas pintu  terpasang lambang Garuda Pancasila dan diatasnya lagi ( tepi tembok ke liling dicat warna merah putih- lambang bendera pusaka Indonesia.

Patih Gajah Mada (kiri) di dalam cungkup. Foto dokumentasi Sup

        Setelah melewati pintu utama, kemudian masuk ke dalam  yang disekat dengan “ tembok “ kayu berukir- mirip dengan penyekat rumah adat Kudus. Di bagian pojok kana n ada sebuah papan nama “ tata tertib” tamu/ pengunjung , yang nampaknya masih bersifat sementara ( letaknya). Setelah itu masuk ke  ruang utama cungkup. Di sini juga terdapat empat tiang utama dari kayu jati. Di atas lantai terlihat dua benda semacam nisan dari bahan keramik warna kehitaman.  Di bagian tengah masing masing “nisan” dipenuhi aneka jenis bunga. Khususnya  bunga mawar warna merah putih. Seuntai bunga sedap malam. Lalu terlihat pula sebuah /sebutir kelapa hijau yang bagian atasnya sudah dipangkas. Lalu ada sebuah bokor kecil tempat lilin , dupa atau kemenyan.

        Lalu di dinding bagian belakang terlihat dua lukisan. Di bagian kanan lukisan Patih Gajah Mada dan di bagian kiri lukisan Romo SoepraptoTopeng  Mas/ Begawan Mintorogo  Sidik Pramono Jati. Di bagian depan lukisan terlihat sepasang bendera merah putih yang ditancapkan dalam tempat khusus.  Sedang seluruh tembok keliling  tertutup kain warna merah putih. Lalu di bagian tengah, terlihat sebuah payung warna hitam ukuran besar. Aneka bunga yang berada di ruangan ini memunculkan aroma wangi lembut.

       Kemudian di belakangnya masih ada satu ruangan yang juga terdapat sebuah makam Ibu Sulastri- isteri romo Soeprapto Topeng Mas. Di atas nisan terdapat sebuah foto/lukisan ukuran besar.  Dan di seputar nisan juga banyak dijumpai aneka jenis bunga, sebutir kelapa hijau dan sebuah bokor kecil. Lalu  di atas nisan terlihat payung warna keemasan bermahkota tiga. Ruangan ini juga “diselimuti” kain warna merah putih, serta terendus bau harum wangi lembut.

Petilasan- Patih Gajah Mada , selalu dipenuhi aneka jenis bunga segar dan harum semerbak . Foto dokumentasi Sup

       Menurut sang jurukunci  yang akrap disebut Kang/Mas Gendon, komplek cungkup tersebut dibangun secara bertahap sejak enam tahun terakhir. Dan menurut rencana masih terus dilakukan berbagai pembenahan .  “ Sebagian besar peziarah yang rutin ke sini dari kerabat kraton Surakarta. Sedang yang menyangkut sejarah ketiga beliau (Patih Gajah Mada, Romo Soeprapto Topeng Mas dan Ibu Sulastri) saya belum bisa menjawab. Akan saya koordinasikan dulu dengan pihak yang berkompenten,” tuturnya..(Sup)

Halaman:

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

img single