Kudus, Elang Murianews (Elmu) – Serangan fajar yang semakin menggila empat hari menjelang Pemilihan kepala daerah (Pilkada)/ Pemilihan bupati (Pilbup) nampaknya menjadi penentu kemenangan bagi Samani- Bellinda maupun Hartopo – Mawahib. “ Ini menunjukkan masyarakat kita khususnya diakar rumput itu masih sangat rendah pengetahuan politiknya dan berdemokrasinya,” tutur Hendy Hendro, salah satu akademisi di Kudus, Minggu ( 24/11/2024).
Pelaku serangan fajar, tambah Hendy, memanfaatkan adab yang berlaku ditengah masyarakat kita. Akhirnya masyarakat akan terjebak pada politik uang,kepotangan budi diberi uang- balas budi dan sebagainya. Adab adalah norma atau aturan sopan santun yang didasarkan pada nilai-nilai budaya atau agama. Adab merupakan ilmu perilaku terpuji yang berasal dari ajaran dan perintah agama. “Untuk itu kita perlu menyadarkan pada masyarakat jangan sampai terjebak pada politik uang. Jika diberi uang kita terima, sebagai rejeki. Tetapi pilihan tetap sesuai dengan hati nurani. Mana calon pemimpin yang kapabel, akuntabel. Punya integritas, jujur, baik, tidak arogan. Tidak gila kekuasaan. Tidak serakah. Dan tidak merusak demokrasi yang perlu kita pilih. Tugas kita untuk menyadarkan pada masyarakat,” tegasnya.
Sedang menurut akademisi lainnya, Moh Rosyid, perlunya dihidupkan wacana gubernur dan bupati diangkat/ditunjuk langsung saja oleh pejabat di atasnya, tanpa dipilih rakyat.”Jangan berdalih suara rakyat suara Tuhan, tapi wabah serangan fajar makin menggila, tak ada solusi. Dalih menjadi negara demokrasi bukan berarti pemilihan yang dijadikan kesempatan untuk meraup uang yang tak seberapa, Tapi dampak lanjutannya yang merisaukan. Banyak gubernur, bupati dan pejabat publik yang terjerat hukum,”
Di akhir masa pemerintahan Presiden SBY, pemerintah pernah menggunakan hak inisiatifnya untuk membuat UU No 22/2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD.
Tetapi dicabut dengan:UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Menurut Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, "Serangan Fajar" merupakan istilah populer dari praktik politik uang. Berdasarkan Pasal 515 dan Pasal 523 ayat 1-3 dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta Pasal 187 A ayat 1-2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, serangan fajar tidak terbatas hanya pada pemberian uang, tetapi juga dalam bentuk lain seperti paket sembako, voucher pulsa, voucher bensin, atau barang lain yang bernilai uang di luar ketentuan bahan kampanye yang diperbolehkan.
Sesuai Pasal 30 ayat 2 dan 6 Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2018, bahan kampanye yang diperbolehkan meliputi selebaran, brosur, pamflet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat makan/minum, kalender, kartu nama, pin, dan alat tulis. Nilai setiap bahan kampanye ini jika dikonversikan tidak boleh lebih dari Rp 60.000.
Sedang Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) mengidentifikasi dua dampak utama dari serangan fajar , yaitu Kerugian Lima Tahun : karena pemilih dapat menderita kerugian selama lima tahun masa jabatan karena janji-janji politik dari pelaku serangan fajar belum tentu ditepati, terutama jika politisi lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Dan Memicu Korupsi : kandidat yang terlibat dalam serangan fajar sering kali akan melakukan tindakan korupsi setelah terpilih untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan selama kampanye.Tetapi juga merusak prinsip dasar demokrasi , menurunkan legitasi pemilu dan menambah biaya politik..
Serangan fajar di Kudus seakan-akan dibenarkan ketika Komisi Pemilihan Umum KPU) Badan pengawas pemilihan umum (Bawaslu) dan pasangan calon bupati/wakil bupati, sepakat dana kampanye pasangan calon maksimal Rp 58 miliar.
Dengan dana tersebut pasangan Samani- Bellinda dan Hartopo – Mawahib berharap memenangkan Pilkada. Yaitu meraub setidaknya 50 persen plus satu dari total pemilih tetap sebanyak 642.405 orang. Atau sekitar 321.203- 321.204 pemilih.
Lalu jika diasumsikan setiap orang/pemilih mendapatkan Rp 120.000,-- Rp 150.000,-( seperti yang terjadi pada Jumat malam- Sabtu pagi) , maka dana segarnya saja yang harus digelontorkan mencapai Rp 38,- - Rp 48 miliar. Dan menurut informasi yang diperoleh Elmu, biaya yang dikeluarkan masing masing calon bakal tembus di atas Rp 60 miliar.
Dan jika itu memang benar, maka biaya penyelenggaraan Pilkada Kudus 2024 yan ditunjang dari APBD sebesar Rp 42,48 miliar ( untuk kebutuhan KPU dan Bawaslu) dan Rp 4 miliar lebih untuk biaya keamanan, lalu ditambah Rp 120 miliar dari dua pasangan, maka total biayanya mencapai Rp 166 miliar.
Jumlah tersebut dianggap mahal atau tidak, juga dianggap sudah memenuhi syarat sebagai bagian proses demokrasi ( kebebasan memilih), itu tergantung dari sudut pandang masing masing. Dan tentu saja kinerja bupati/wakil bupati terpilih selama lima tahun ke depan yang menjadi kunci jawabannya.
Bisa jadi serangan fajar tidak menjamin kemenangan bagi kandidat atau partai politik. Pemilih saat ini lebih pragmatis-mereka mungkin menerima uang tetapi tidak memilih kandidat yang menawarkan uang tersebut. Karena itu, hak memilih sesuai hati nurani tetap sangat penting, dan suara pemilih tidak boleh dibeli. (Sup).