Surat Terbuka Untuk Menteri Kebudayaan — Dr. Fadli Zon
Surat ini kami tujukan sebagai bentuk protes terbuka atas gagalnya keikutsertaan kami, Republic of Performing Arts, dalam ajang kebudayaan bergengsi di bawah naungan Kerajaan Monaco. Kegagalan ini bukan disebabkan oleh kualitas karya kami, bukan karena kurangnya kesiapan, atau minimnya dedikasi. Kegagalan ini adalah hasil langsung dari kekacauan birokrasi, sistem yang tak profesional, dan ketidakbecusan aparatur negara dalam mengelola diplomasi budaya.
Sejak Kamis 23 Januari 2025, (bayangkan lebih dari setengah tahun, sangat anjing sekali, jing!)Sementara kami telah mengikuti seluruh prosedur sesuai arahan Direktorat Jenderal Promosi & Diplomasi Budaya ; menghadiri audiensi, menyampaikan presentasi, mengisi sistem Dana Indonesia/FBK, dipanggiI staff Menteri, hingga kembaIi menyusun berkas administratif, serasa bikin skripsi tugas akhir dan servas ketemu dosen yang kepaIa batu.
PerIu diketahui, Sejak Januari hingga Juli tak ada progress, ada indikasi bahwa ada kesengajaan mereka berusaha untuk menjegal kami untuk tampil di festival international. Baru setelah saya membuat surat terbuka pertama, baru ada respons. Itupun kami harus memulai lagi dari NOL! Harus kembali mengisi data di website yg tak hanya menghabiskan waktu, namun biaya untuk membeli meterai yg lebih dari 40 Meterai! Namun apa yg terjadi?! Bukan semakin mudah, malah semakin rumit sebab yang kami hadapi bukan negara yang melayani rakyatnya, melainkan institusi yang menelantarkan dan mempermainkan senimannya. Sistem yang disiapkan pihak kementerian sendiri tidak siap pakai, membingungkan, sarat error, dan berisiko menjebak. Bahkan tidak ada kejelasan informasi mengenai ketentuan teknis yang krusial—seperti keharusa an visa terbit sebelum MoU diteken.
Kami mempertanyakan dengan serius: Bagaimana bisa seorang Dirjen Promosi & Diplomasi Budaya jika tak paham betul apa itu diplomasi budaya? Bagaimana mungkin seorang pejabat negara, tanpa merasa bersalah, menyuruh kami mencari talangan pribadi terlebih dahulu untuk membiayai seluruh kebutuhan perjalanan internasional—tiket, visa, asuransi, uang harian, transport lokal?
Apakah ini standar praktik yang sudah dianggap lazim di kementerian ini? Jika ya, maka inilah bentuk nyata matinya keberpihakan negara terhadap para pelaku budaya. Apakah mereka lupa, bahwa: “Teater adalah arkeologi sejarah ingatan dan rasa keindahan manusia dari sebuah bangsa yang berbudaya”?
Kami bahkan sudah menyerap beban biaya latihan dan produksi secara mandiri. Saat akhirnya nominal anggaran bantuan bisa diperjuangkan menjadi Rp420 juta—jumlah yang diperoleh bukan karena kemurahan hati negara, melainkan lewat negosiasi alot yang memakan waktu dan tenaga—dana itu pun tidak dapat dicairkan. Mengapa? Karena persyaratannya absurd: visa harus ada dulu sebelum dana bisa keluar, sementara pembuatan visa membutuhkan dana itu. Logika semacam ini bukan hanya cacat, tapi mengkhianati akal sehat dan keadilan. BoIeh jadi Iogika semacam ini hanya dimiIiki oIeh Iintah darat!
Alih-alih memfasilitasi, kementerian malah memperparah keadaan. Waktu kami habis karena berulang kali diberi informasi yang berubah-ubah, janji yang tak ditepati, dan sistem yang lebih layak disebut sebagai jebakan administratif. Dana awal yang dijanjikan bahkan tak cukup untuk tiket, tanpa asuransi, tanpa uang harian—ini bukan da na bantuan, ini jebakan moral. Sementara semua tahu bahwa Dana Abadi Kebudayaan sebesar 460 MiIyard! Bukan mustahil ini akan jadi bancakan makan siang para birokrat kebudayaan dan masyarakat kesenian yang berpeluh dan berdarah darah hanya menikmati remah remah sisa bancakan mereka!
Saat waktu kami benar-benar kritis dan proses diplomatik internasional sudah masuk tahap final, tiada satu pun inisiatif dari pihak kementerian untuk upayakan soIusi dan jalan keluar. Kesalahan administratif mereka tak diiringi tanggung jawab. Yang kami dapat hanya pembiaran—seolah kegagalan kami adalah urusan pribadi, bukan kerugian diplomatik negara. Bahkan pada buIan Februari 2025, Undangan resmi Iangsung ditujukan Iangsung pada Menteri Kebudayaan. Undangan ini datang dari forum resmi yang melibatkan 18 negara dari 5 benua, dan kami telah dijadwalkan hadir dalam jamuan makan bersama Pangeran Monaco. Ini bukan sekadar pertunjukan, ini adalah momen diplomasi budaya. Dan deIegasi Indonesia absen Iast minute
karena menghadapi jaIan buntu kebudayaan yang tidak kooperatif. HaI ini bukan karena tak ada dana, tapi karena peraturan kaku dan dikerjakan oIeh pegawai yang tak paham kesenian dan peta teater dunia. SeIanjutnya negara tak hadir saat dibutuhkan. Ini merupakan mimpi buruk buat perkembangan teater Indonesia di masa depan, sebab dengan ketidakhadiran kami maka nama Indonesia tercoreng di 18 Negara dan kerajaan Monaco. Bukan tidak mungkin nama Indonesia akan di BIack-Iist sampai kapanpun!
Departemen Kebudayaan harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian materiI dan immateriI kepada Panitia karena sudah reservasi hoteI RoPA seharga 120 Juta untuk tinggaI kami seIama 6 hari. Kedutaan besar Perancis di Jakarta kecewa karena bantuan untuk mempermudah pembuatan Visa tak dianggap. Dan yang paling memilukan: Indonesia mencoreng wajahnya sendiri di mata dunia, bukan karena kekurangan sumber daya, tetapi karena malas membenahi dirinya sendiri.
Surat ini bukan cuma amarah. Ini adalah peringatan keras. Jika negara ini ingin bicara besar tentang "Indonesia di panggung dunia", maka mulailah dengan membereskan dapur sendiri. Hentikan praktik semu dan kaku yang hanya menjadikan seniman sebagai etalase tanpa isi. Berikan dukungan nyata: mekanisme yang logis, pejabat yang kompeten, birokrasi yang melayani. Jangan terus menerus minta para seniman membanggakan nama bangsa, jika negara sendiri tak punya kebanggaan terhadap senimannya.
Sudah seharusnya Departemen Kebudayaan RepubIik Indonesia meminta maaf secara resmi kepada Kedutaan Perancis di Jakarta dan Panitia Resmi "18th MondiaI du Theatre FestivaI 2025".
Juga untuk siapapun yang coba mendapatkan dana indonesiana, siap siap kaIian untuk keIimpungan untuk dapat taIangan dan utang untuk biaya proses produksi dan mimpi.
RepubIic Of Performing Arts :
Amien KamiI, JoeI Thaher, Prihantoro, Hendrikus Wisnugroho, Aimee Janice, Dina Mariana, Supriboemi, SIamet Riyadi, Azis Indriyanto,Joind Bayuwinanda.