Kudus,Elangmurianews- Ritual Sewu Kupat dijadwalkan berlangsung Rabu (17/4/2024) di Desa Colo “Gunung Muria” Kudus. Setelah beberapa tahun “macet” dengan berbagai alasan. Dan kali ini ritual akan diikuti 23 unit gunungan – masing masing berisi kupat/ketupat, lepet dan hasil bumi warga setempat. Juga dimeriahkan dengan pagelaran gamelan, jajan tradisional dan musik. Panitia juga menyediakan sekitar 4.000 porsi ketupat dan 1.000 cangkir kopi.
Ritual dimulai dari komplek Masjid dan Makam Sunan Muria yang berada di ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut. Kemudian menuruni jalan berkelak-kelok sekitar dua kilometer lebih dan finis di Taman Ria- sebuah taman milik Pemkab Kudus. Sedang puncak Gunung Muria adalah Sapto Renggo atau Puncak Sanga Likur (29) yang berada di wilayah Desa Rahtawu 1.602 meter. Disusul Arga Jembangan Desa Japan 1.502 meter. Dan sedikit “di bawah “ Arga Jembangan adalah masjid dan makam Sunan Muria.
Ritual Sewu Kupat digagas Bupati Kudus, Musthofa dan sejumlah seniman/budayawan, kepala desa Colo pada 2008. Sebagai bentuk menghormati Sunan Muria dan melanjutkan ritual serupa yang lebih dahulu hadir-dengan kemasan “ala kadarnya”. Berlangsung setiap tanggal 8 syawal. Atau sepekan setelah Idul Fitri dan merupakan ungkapan rasa syukur setelah melewati bulan Ramadan (puasa selama sebulan penuh).
Ritual Sewu Kupat, termasuk kearifan lokal. Artinya menurut Gramedia, adalah pandangan hidup suatu masyarakat di wilayah tertentu mengenai lingkungan alam tempat mereka tinggal. Pandangan hidup ini biasanya sudah berurat akar menjadi kepercayaan orang-orang di wilayah tersebut selama puluhan bahkan ratusan tahun.
Dengan kearifan lokal, maka tatanan sosial dan alam sekitar agar tetap lestari dan terjaga. Selain itu, kearifan lokal juga merupakan bentuk kekayaan budaya yang harus digenggam teguh, terutama oleh generasi muda untuk melawan arus globalisasi. Dengan begitu karakteristik dari masyarakat daerah setempat tidak akan pernah luntur.
Adapun fungsi kearifan lokal : Konservasi pelestarian sumber daya alam, Menjadi petuah, kepercayaan, dan pantangan serta Menjadi ciri utama sebuah masyarakat.
Warisan Sunan Muria
Sunan Muria sendiri dikenal sebagai salah satu “anggota “ Wali Sanga (9). Delapan wali lainnya adalah Sunan Kudus, Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat , Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati.
Sunan Muria , adalah putra Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh. Lahir pada 1450 Masehi dengan nama asli Raden Umar Said. Dan dalam buku Sejarah Sunan Muria yang diterbitkan Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria berkolaborasi dengan UIN Walisongo Semarang , Sunan Muria wafat pada tahun 1551 M
Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah (putri Sunan Ngudung dan merupakan adik dari Sunan Kudus). Dari pernikahannya dengan Dewi Sujinah, Sunan Muria di karuniai seorang anak bernama Raden Saridin atau dikenal dengan nama Syekh Jangkung. Selain itu, Sunan Muria juga menikah dengan Dewi Roronyono (putri dari Ki Ageng Ngerang dan Nyi Ageng Ngerang). Lalu Sunan Muria dikaruniai tiga orang anak, Sunan Nyamplungan, Raden Ayu Nasiki dan Pangeran Santri. Selain itu, Sunan Muria, juga mewariskan ilmu yang dikenal Tapa Ngeli.
Menurut , Muchammad Zaini, pimpinan Kampung Budaya Piji Wetan Dawe Kudus, Tapa Ngeli adalah sebuah falsafah yang relevan diterapkan hingga akhir zaman. Dan secara harfiah Tapa adalah bertapa, menyepikan diri dari keramaian sekitarnya. Sedangkan Ngeli adalah menghanyutkan diri.
Dua kata itu tampak bersebrangan secara makna, karena tidak mungkin bagi seseorang bisa menyepi tetapi masih harus mengikuti perkembangan yang ada disekitarnya. Namun, justru dari sisi itu lah tampak kehebatan Sunan Muria. Yakni bisa menggabungkan dua hal yang berbeda menjadi selaras, seirama untuk membentuk sebuah pola. Maka, dalam tingkatan lain, Sunan Muria terlebih dahulu mencetuskan ajaran Tapa Ngrame (bertapa dalam keramaian) untuk melatih hati dan mental dalam menghadapi Tapa Ngeli.
Sunan Muria dengan Tapa Ngeli-nya, berharap bisa menumbuhkan tunas kesalehan dalam menjalani kehidupan berbangsa. Jika dimaknai lebih dalam lagi, ajaran Tapa Ngeli mengajak manusia agar bisa menyesuaikan diri dengan zamannya tanpa harus terbawa oleh arus yang ada. Ajaran Tapa Ngeli mengajak manusia supaya “zuhud” dalam bidang apa saja.
Selain Tapa Ngeli, Tapa Ngrame, Sunan Muria juga dikenal sebagai pencipta tembang /lagu Sinom dan Kinanti. Sebuah tembang yang harus mengingat guru wilangan( bilangan suku kata), guru lagu (patokan bunyi) dan jumlah gatra ( baris sajak). Berbeda jauh/lebih rumit dibanding seperti mencipta puisi Jawa gagrag anyar atau geguritan.(Sup)