Kudus, Elang Murianews (Elmu) – Astuti Nafatika, ketika masih sekolah dasar, sering mengikuti lomba panjat pinang di desanya Jati Wetan Kecamatan Jati. Menggantikan peran ayahnya sebagai peserta yang sering kedodoran. Bahkan tidak segan segan ikut naik turun rumah memperbaiki genting yang bocor.
Kemudian ia memasuki klub panjat tebing di Kudus ELCETE, yang ditangani pelatih Yoyok Supriyanto. Kemauan, tekat dan kerja kerasnya selama di Elcete, menjadikan Astuti Nafatika, terpilih menjadi siswa Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLOP) di Semarang- wadah pembibitan olahragawan pelajar yang diselenggarakan kementerian pendidikan. Oleh karena itu , Astuti pun meneruskan sekolah di SMP negeri 11 Semarang atas biaya dari PPLOP sampai lulus, Kemudian meneruskan ke SMA Negeri 11 Semarang dan sekarang sudah kelas III . Jadi selama sekolah dan berlatih di PPLOP, kami samasekali tidak mengeluarkan biaya. Itu sangat membantu kami sebagai keluarga yang kurang mampu, “ tutur Suprihati- sang ibu saat ditemui di rumahnya Gang Arjuna Desa Jati Wetan, Rabu ( 9/10/2024).
Rumah itu tergolong rumah sederhana dan seakan terdiri tiga bagian. Sebagian diantaranya yang ditempati Suprihati , suaminya Paidi dan empat anak-anaknya. Di sisi depannya , sebuah ruangan berukuran sekitar 3 x 3 meter . Berfungsi untuk warung makan- meski saat ini tidak dioperasikan. Terlihat beberapa meja kayu, satu kursi kayu panjang dan dua kursi lain. Lalu terlihat rak piring- gelas, galon air, penanak nasi, kipas angin, beberapa box pengeras suara ukuran besar, sedang dan kecil . Terlihat ada ruangan kecil dengan beberapa sangkar burung.
Kemudian ada dua kamar tidur . Satu diantaranya , yaitu di dinding belakang, terlihat tempat penyimpanan medali dan piala yang diperoleh Astuti sejak tahun 2018 – 2024. Juga terlihat ada foto diri Astuti yang ditempelkan di dinding “ Kami tidak/belum mampu membeli tempat khusus. Kami akan membeli tempat khusus untuk memajang medali serta piala piala tersebut,” tutur Suprihati
Perempuan bertubuh langsing ini kemudian mengambil satu kantong plastik berisi sekitar 27-28 medali dan kemudian satu persatu dipajang di salah meja warung. Lalu anak sulungnya, lelaki juga mengambil sejumlah piala dari kamar dan dipajang di sela sela medali. Itu dilakukan sementara untuk mempermudah pengambilan foto yang dilakukan Elmu. “ Ini kakaknya Astuti. Tidak melanjutkan sekolah, tapi sudah bekerja. Sedang dua adiknya laki-laki dan perempuan masih sekolah dasar “ ujar Suprihati.
Kemudian ketika ditanya tentang hadiah uang yang diterima Astuti dan hari depannya seperti apa. “ Saya sudah sering ngobrol dengannya. Uang itu ditabung dan setelah lulus dari SMA negeri 11 Semarang dipergunakan untuk biaya melanjutkan kuliah. Namun tetap menekuni sebagai atlet panjat tebing,”
Sang ibu juga mengisahkan ketika mengurus Astuti untuk bersekolah di Semarang dan mendampingi saat saat tertentu yang membutuhkan kehadiran orang tua. “Saya sendiri yang biasa “wira-wiri” ke Semarang. Sebab sangat jarang dia pulang ke Kudus. Ia memang sepanjang hari berlatih keras, tetapi juga tekun belajar di sekolah. Astuti memang bagai anak emas kami, karena dia menjadi sumber harapan- kebagiaan kami sekeluarga ketika mampu menjadi atlet berskala nasional dan internasional,” tambah Suprihati dengan mata berkaca-kaca menahan haru.
Terharu sekaligus juga prihatin, karena ia dan suaminya hanya pekerja rendahan, yang tentu berimbas banyak kepada kehidupan keluarganya. Namun juga ada kebanggaan tersendiri- salah satu anaknya, yaitu Astuti Nafatika, meski baru berusia 17 tahun , sudah mampu mandiri. Mampu berprestasi yang secara langsung- tidak langsung “mengangkat nama” orang tua, sekolah, tanah kelahiran, provinsi Jawa Tengah, hingga nasional. Prestasi itu masih terbuka lebar untuk tataran yang lebih tinggi. Lewat ajang Sea Games, Asian Games hingga olimpiade di tengah persaingan yang begitu ketat.(sup).