Kudus,Elang Murianews (Elmu)- Deklarasi keharusan berbahasa Jawa setiap hari Rabu yang dicanangkan Bupati Kudus, Musthofa per 25 Maret 2014 nyaris hanya berlangsung efektif sekitar enam bulan saja. Selanjutnya wes ewes bablas angine seperti iklan jamu.
Dan ketika diluncurkan peraturan daerah (Perda) nomor 8/2021 tentang Pemajuaan Kebudayaan Daerah yang ditanda-tangani Bupati Kudus Hartopo,. Sepuluh diantara obyek pemajuan kebudayaan adalah bahasa, juga nyaris tak terdengar gaungnya. “Sebenarnya Perda ini memperkuat. Saya pernah memberikan masukan. Saya juga pernah menyarankan agar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-kanak (TK)dominant pakai bahasa Jawa. Perlu ada yang “mengitik-itik” dari media,” tutur Agus Susanto, salah satu pemerhati budaya di Kudus, Rabu malam (14/8/2024)
Sedang menurut Moh Rosyid,dosen sejarah IAIN Sunan Kudus, yang dihubungi terpisah, Tdk terlaksananya deklarasi tersebut akibat dari : aturan tidak dievaluasi pelaksanaannya, terkesan asal membuat aturan.” Aturan itu perlu diawali dengan melihat masukan publik sebelum diterbitkan. Tanpa adanya keseimbangan dari warga untuk menyadari berlakunya aturan. Pemahaman publik menyangkut manfaat aturan itu juga nihil” ujarnya.
Biwara (deklarasi) kedah (keharusan) berbahasa Jawa setiap Rabu sebagai bahasa pergaulan, ditujukan untuk jajaran badan pemerintah, swasta, sekolahan, hingga bebrayan agung ( masyarakat umum).
Dan pada Selasa 9 September 2014 saat dilakukan evaluasi terhadap keharusan berbahasa Jawa tersebut, Bupati Kudus Musthofa mengatakan :” Sangat baik dan bisa dilaksanakan semua jajaran PNS. Komuniksai dengan bahasa Jawa ini memiliki sesuatu yang penuh dengan ajaran budi pekerti, tata krama dan sopan santun yang berguna bagi pembangunan karakter, khususnya di kalangan generasi muda. Untuk itu, keberadaannya perlu dilestarikan dan terus dikembangkan," ujarnya di Pendopo kabupaten Kudus.
Deklarasi itu untuk membangkitkan semangat dalam mengembangkan bahasa Jawa di Kabupaten Kudus. "Hal ini penting bagi pengembangan karakter, karena bahasa Jawa sarat dengan nilai nilai luhur budaya seperti perilaku sopan santun dan tata krama yang saat ini sudah mulai pudar," tambahnya.
Pedoman PerilakuDhan
Menurut pemerhati kebudayaan Jawa dari Universitas Diponegoro Semarang, Dhanang Respati Puguh, bahasa Jawa, sebagai salah satu dari banyak bahasa daerah di Indonesia, dianggap bisa menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat."Nilai-nilai itu terkandung dalam sastra lisan dan tulis yang menggunakan bahasa Jawa," ujarnya seperti yang dilansir dari Antara."Banyak juga ungkapan Jawa yang berfungsi sebagai pedoman perilaku. Paribasan, wangsalan, dan tembang isi pesannya dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan budi pekerti," lanjutnya.
Sampai saat ini, kata Dhanang, masyarakat Jawa yang kurang terampil berbahasa Jawa (lisan) dalam berkomunikasi sering menyatakan permohonan maaf apabila di dalam berkomunikasi ada yang kurang tepat dalam penggunaan kata."Itu artinya orang Jawa memiliki kesadaran ketika berkomunikasi dengan bahasa Jawa bahwa penggunaan kata yang kurang tepat dapat mengakibatkan ketidaksopanan," tambahnya.
Kemunduran
Sedang Bambang Sulanjari, dosen Prodi Pendidikan Bahasa Daerah, Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) menuturkan ,sejak awal abad 21 bahasa Jawa mengalami masa-masa kemunduran. Baik dalam populasi penggunaannya oleh masyarakat Jawa sendiri maupun dalam hal wilayah penyebarannya.
Terdapat beberapa tanda suatu bahasa mengalami pergeseran dan mungkin menuju kepunahan jika pergeseran itu tidak segera dibendung. Yang pertama adalah bahasa itu kehilangan basis wilayahnya dan dipakai oleh jumlah penutur yang semakin kecil.
Bahasa Jawa lebih banyak digunakan hanya di pedesaan, itupun mutu penggunaan para penunturnya semakin menurun. Sebagaimana terjadi pada bahasa Jawa ketika banyak orang Jawa sudah tidak lagi menggunakan bahasa kromo sekalipun di dalam kalangan komunitas Jawa sendiri.
Tantangan besar bahasa daerah termasuk bahasa Jawa di Indonesia adalah bagaimana mempertahankan eksistensi bahasa daerah itu agar tidak punah. Saat ini, akibat adanya pengaruh globalisasi, kedudukan bahasa daerah menjadi lemah dan fungsinya pun termarginalisasi.
Dalam persaingan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia serta bahasa asing, banyak petunjuk mengisyaratkan bahasa Jawa makin kalah bersaing. Harapan kita adalah bagaimana bahasa Jawa dapat berdiri sama tinggi dengan bahasa Indonesia.
Perlunya ada desakan usaha menanggulangi agar bahasa Jawa tidak punah atau berubah status menjadi bahasa seremonial belaka, misalnya untuk upacara pernikahan saja. Upaya yang masih dilakukan dalam pembinaan dan pengembangan bahasa daerah adalah usaha-usaha pelestarian bahasa yang benar benar menyentuh perilaku sehari-hari masyarakat.
Sebagai contoh, bahasa Ibrani sebagai bahasa yang sukses berkembang kembali, sementara bahasa Irlandia gagal dikembangkan. Bahasa Irlandia kalah dengan bahasa Inggris dan kini tidak lagi digunakan oleh orang Irlandia sendiri
Sedang menurut Sri Sultan Hamengku Buwono ke-10, kepunahan bahasa daerah di Indonesia kian nyata, indikator ini merujuk pada jumlah penutur Bahasa Jawa di Indonesia terus mengalami penurunan. Pada tahun 2000 ada sekitar 84 juta penutur Bahasa Jawa. Tapi memasuki tahun 2015 menurun menjadi sekitar 68 juta penutur.
Bahasa Jawa akan semakin ditinggalkan bila tidak berbenah. Namun, ada harapan kalau Bahasa Jawa digandrungi lagi oleh masyarakat utamanya milenial, Gen-Z maupun Alpha, yakni lewat influencer (pemberi pengaruh) di media sosial.(Sup).