Kudus, Elang Murianews (Elmu)- Gerbang Kudus Kota Kretek (GK3) tidak seindah lagi seperti aslinya. Sebab semua lampu yang berada di bangunan ikonik ini dalam kondisi mati/padam. Padahal menurut FX Supandji, salah satu manajer senior PT Djarum, keindahan GK3 hanya bisa dilihat dan dinikmati ketika malam hari. Bersamaan dengan seluruh lampu warna warni yang terpasang di semua lini bangunan berkekuatan ribuan watt dinyalakan secara bergantian sesuai standar teknologi.
Padamnya lampu di GK 3 yang terletak berdekatan dengan Jembatan Tanggul Angin di perbatasan Desa Jati Wetan Kecamatan Jati Kudus dengan Desa Karanganyar Kecamatan Karanganyar Demak ini akibat jaringan listrik. “ Dulu ikut lampu penerangan jalan umum ( LPJU) tapi setelah LPJU diserahkan Dinas perhubungan (Dishub), dinas ini tidak mau , karena dianggap lampu taman. Kemudian dikembalikan ke Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Lingkungan Hidup(PKPLH) lagi dan sudah dicek kelihatanya jaringan listriknya bermasalah , “ tutur salah satu staf pimpinan Dinas PKPLH Kudus, Jumat ( 3 Januari 2025).
Tidak dijelaskan lebih rinci sejak kapan kelistrikan di GK3 itu tidak berfungsi. Dan apakah akibat jaringannya yang rusak atau karena keberatan/kesulitan dalam pembayaran rekening ke Perusahaan Listrik Negara (PLN). Namun menurut informasi yang diperoleh dari sejumlah warga Desa Jati Wetan, padamnya lampu di GK3 sudah berlangsung berbulan bulan lalu. Bahkan diduga sudah lebih dari setahun terakhir,
Selain menyangkut lampu penerangan, kondisi GK 3 yang terlihat bagai kupu kupu raksasa ini seakan “ ndeprok”. Setelah dibangun jembatan baru Kolenel Sunandar yang menyatu dengan jembatan lama Tanggul Angin di atas Sungai Wulan. Jembatan baru ini lebih jangkung dibanding dengan jembatan baru.
Daya tarik GK3 juga melemah, saat imbas pembangunan jembatan baru juga seakan membabat sebagian Taman Tanggul Angin, yang berada di seberang jalan/barat dari GK3. Taman yang dibangun dengan biaya sekitar Rp 7 miliar ini, juga nyaris lumpuh sampai sekarang.
GK3 dibangun PT Djarum pada April 2014 dengan biaya Rp 16 miliar dan diresmikan dua tahun kemudian. Dengan bahan baku bangunan berupa stainless (baja putih tak berkarat) yang didatangkan dari Australia. Bangunannya berbentuk daun tembakau dan cengkeh.Hal ini dilatar-belakangi bahan baku rokok kretek berupa tembakau dan cengkeh. Sedang di antara struktur bangunan tersebut diperkuat dengan kerangka “tulang’ sebanyak 100 buah, yang dibagi menjadi dua- masing-masing 50 “tulang” yaitu di bagian sisi kanan dan sisi kiri jalan. . Adapun ketinggian bangunan mencapai 12 meter dan lebarnya 21 meter.
Pro kontra
Sebelum pembangunan dimulai- sempat muncul pro kontra. Seperti peneliti sosial dan dosen pada Universitas Muria Kudus, Widjanarko, yang menyatakan Gerbang Kudus Kota Kretek tersebut tidak memiliki ikatan psikologi yang kuat buat masyarakat Kudus. Masyarakat sepertinya tidak melihat pembangunan tugu sebagai sesuatu yang bermanfaat. Ini dikembalikan kepada sikap masyarakat, yang lebih melihat untuk apa sebenarnya bangunan itu. ”Jika bisa, lebih baik membangun sesuatu yang bisa meningkatkan ekonomi atau taraf hidup masyarakat Kudus. Terutama bagi buruh pabrik rokok,” tegasnya
Bahkan menurut dia, bangunan hanya menjadi monumen gigantis autis yang bersifat pribadi. Karena itu, layak jika kemudian dipertanyakan apa manfaatnya bagi masyarakat Kudus secara keseluruhan. Kalangan yang tidak menyetujui adanya Gerbang Kudus Kota Kretek berdalih antara lain merasa tersinggung, tidak didahului dengan sosialisasi, desain,tata letak kultur, budaya hingga menyangkut nama tidak sesuai sehingga perlu dikaji ulang.
Semula, nama yang dimunculkan adalah Monumen Kudus Kota Kretek , dirubah menjadi Gapura Kudus Kota Kretek dan akhirnya mengerucut menjadi satu nama, yaitu Gerbang Kudus Kota Kretek. Termasuk semua pihak menyetujui dibangunnya Gerbang Kudus Kota Kretek.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, monumen artinya bangunan atau tempat yang mempunyai nilai sejarah penting dan karena itu dipelihara dan dilindungi negara. Sedang gapura artinya pintu gerbang yang dibuat sebagai tanda atau pernyataan hormat (untuk menghormati tamu, peristiwa penting dan sebagainya. Lalu gerbang artinya pintu masuk. Lebih khusus sebagai pintu ke luar masuk tempat wisata .” Jadi menurut saya penggunaan nama monumen berganti gapura, kemudian berubah dan ditetapkan menjadi gerbang, merupakan salah satu upaya dari pemerintah kabupaten Kudus maupun penyandang dana – dalam hal ini PT Djarum untuk menangkal “ serangan” dari pihak yang kontra. Arti gebang memang lebih “ringan”- tidak butuh aneka macam persyaratan,” ujar pemerhati budaya, Sulistiyanto.( kini sudah meninggal)
Pro kontra tentang Gerbang Kudus Kota Kretek akhirnya tidak lagi memanas, sehingga ketika Bupati Kudus, Mustofa , Wakil Bupati Kudus, Abdul Hamid dan petinggi PT Djarum Victor Hartono, Thomas Budi Santoso bersama-sama menghadiri acara pemasangan tiang pancang pembangunan Gerbang Kudus Kota Kretek, Selasa (22 April 2014)
Bupati Kudus, Musthofa, pada acara tersebut menegaskan pembangunan Gerbang Kudus Kota Kretek itu dilaksanakan supaya menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Kudus dan merupakan merupakan ikon Kota Kretek itu sendiri. Ikon yang dimaksud bukanlah mengenai perusahaan rokoknya, tetapi lebih kepada kretek itu sendiri.” ”Sebelum saya lahir sampai sekarang, Kudus itu diidentikkan dengan kretek. Sedang bagi pemerintah daerah, pembangunan gerbang juga merupakan upaya penataan kota agar lebih menarik dan memiliki nilai jual tinggi,” ujarnya.
Victor Hartono menegaskan pihaknya menjamin bangunan GK3 tidak akan dimuati iklan resmi atau terselubung dari pabrik rokok Djarum , perusahaan rokok- lainnya maupun dari perusahaan-perusahaan manapun. Selain itu Kudus sebagai cikal bakal industri rokok kretek nasional memang layak untuk mendapat bangunan Gerbang Kudus Kota Kretek. Dan yang layak dipertanyakan saat ini di hari Jumat 3 Januari 2025 tanggung jawab moral Pemkab Kudus menghadapi kenyataan lampu GK3 ini byar-pet (hidup-mati) setelah pihak Djarum menyerahkan sepenuhnya pengelolaannya kepada pemerintah kabupaten .(Sup/Rikha).