Kudus, Elang Murianews (Elmu) – Gereja tua bernama Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ)yang berada di Dukuh Kayuapu Desa Gondangmanis Kecamatan Bae Kabupaten Kudus diduga “dianak-tirikan” Dinas kebudayaan dan pariwisata (Disbudpar) Kudus. Sebab, pada “usianya” yang ke- 160 tahun , belum/tidak ditetapkan sebagai cagar budaya. Ini berbeda dengan cagar budaya lainnya di Kudus yang tercacat hingga ditetapkan sebagai cagar budaya.
Baru pada sekitar tiga bulan yang lalu Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Disbudpar ke lokasi . “Hanya sekedar mengoperasikan videonya. Tanpa menanyakan hal-hal lain. Misalnya tentang sejarah dan phisik bangunan,” tutur pendeta GITJ Kayuapu Slamet Suharyanto , Jumat ( 20/12/2014).
Dengan kinerja semacam itu, dipastikan Disbudpar dan TACBnya tidak profesional. Bila mengacu pada buku Inventarisasi Cagar Budaya yang diterbitkan Balai Pelestarian Cagat Budaya Jawa Tengah 2005 dan buku inventarisasi benda cagar budaya yang diterbitkan Disbudpar Kudus 2007, maka aparat yang ditugaskan di lapangan mendata dengan detil/rinci. Misalnya menyangkut ukuran bangunan, bentuk bangunan, masa/waktu membangun dan sebagainya.
Disbudpar Kudus yang telah berganti-ganti ditangani kepala dinas, hingga kepala bagian, kepala seksi hingga karyawan nampaknya lupa dengan salah satu tugasnya. Termasuk keberadaan TACB, meski baru muncul sekitar lima tahun terakhir. Padahal pada Pasal 26 (1) undang undang nomor 11/2010 tentang cagar budaya disebutkan : Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya.
Terlepas dari teledornya Disbudpar dan TACB, Gereja GITJ Kayuapu telah memenuhi criteria cagar budaya seperti yang tercantum dalam Undang Undang (UU) nomor 11/2010 tentang cagar cagar budaya. Tepatnya di pasal 5 : Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Meski GITJ Kayuapu yang dibangun pada 1846 ini beberapa kali mengalami perbaikan, tetapi tidak merubah bentuk, mengacak-acak apalagi membongkar. “ Memang bagian dinding dan tiang sisi kanan kiri gereja “dilepas”. Ini untuk mengimbangi jumlah jemaat yang semakin banyak, sehingga diperluas ke kanan dan ke kiri. Lalu tiang tiang kayu yang semula berada di bagian dinding diganti. Jika dilihat dari dalam gereja, nampak jelas yang asli dan yang diganti,” tutur Slamet Haryanto.
Lalu bangunan yang semula bekas atau aslinya dipergunakan sebagai poliklinik dan berada beberapa meter sudut belakang kiri gereja, ditambah dinding bagian depan dan belakangnya. Namun bangunan inti tidak dirubah samasekali. Kemudian berubah fungsi menjadi ruang serba guna.
Sedang menyangkut : memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Berikut catatan yang diperoleh Elmu dari berbagai sumber :
Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Kayuapu, persembahan dari Administratur pabrik gula Tanjungmojo Kecamatan Jekulo (Kudus) Selain pabrik gula Tanjungmojo di Kabupaten Kudus, berdiri pula pabri gula (PG) Besito Kecamatan Gebog dan PG Trangkil Kecamatan Kota Kudus. Namun tinggal PG Rendeng yang hingga sekarang masih tetap berproduksi. “Beberapa tahun kemudian di sampng belakang gereja dibangun sebuah poliklinik,” tutur Ketua Majelis GITJ Kayuapu, Heri S.
Selain itu GITJ Kayuapu, merupakan rangkaian sejarah kristenisasi Jawa, seperti yang ditulis C Guillot dalam bukunya setebal 243 halaman (cetakan pertama 1985) berjudul Kia Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa, buku Sejarah Gereja Injili diTanah Jawa tulisan Sigis Herusukotjo dan L Yoder (1979), Jemaaat Kayuapu abad ke-19 dan awal ke-20 (Pendeta Karmito) Sejarah GITJ ( Panitia Sarasehan Menelusuri Sejarah Gereja Kayuapu, September 2002).
Sebelum bangunan gereja berdiri, menurut C Guilot muncul Tunggul Wulung yang dilahirkan di Jepara awal abad XIX, dengan nama asli Ngabdullah Ada dua versi Tunggul Wulung asal muasal ia masuk Kristen., tetapi yang pasti ia datang ke rumah Jellesma di Mojowarno dan diberikan sebuah Kitab Perjanjian Baru.
Setelah itu sempat beberapa bulan tinggal di rumah Jellesma dan selanjutnya ke Semarang bertemu dengan penginjil Bruckner, Hoezoo, Anthing dan Jansz.
Namun Jansz menolak membaptis, sehingga Tunggul Wulung kembali Mojowarno. Menemui Jellesma, yang kemudian mengajari membaca, menulis, mengajarkan pokok-pokok agama Kristen dan akhir dibaptis antara 1884 – 1855 dengan nama baptis Ibrahim. Sejak itulah. Ibaratnya tanpa henti-hentinya mengelilingi Pulau Jawa selama dua puluh tahun memperkenalkan agama Kristen, sehingga tercacat sebagai sejarah Kristenisasi.
Desa Bondo Kecamatan Bangsri (Jepara) dan Kayuapu merupakan salah satu buktinya, yang hingga sekarang masih cukup banyak pemeluk agama Kristen. Era 1904 hingga 1921 sempat terjadi kekosongan tenaga pelayanan di Kayuapu, sehingga untuk mengatasinya ditempuh pelayanan jarak jauh melalui misionaris berkebangsaan Rusia, Nikolai Thiessen yang tinggal di Margorejo Lalu dilanjutkan Johan Fast hingga 1928.
Periode 1929 – 1933 ditangani Hermann Schmitt dan Gersom Baru setelah itu, warga negara pribumi, dalam hal ini warga jemaat gereja Kayuapu sendri yang bernama Radija Nitiardjo mampu memberikan pelayanan.
Lalu dilanjutkan Wigeno Mororedjo yang bertugas hingga Gereja Kayuapu menjadi gereja mandiri penuh per 24 November 1940 dan pada saat diselenggarakan pemilihan umum kali pertama di Indonesia, jumlah jemaat yang telah dibaptis mencapai 65 dan ditambah 146 anak. Menjelang akhir 2008 total mencapai lebih dari 1.000 jiwa.
Mengingat kondisi bangunan GITJ Kayuapu yang sudah uzur dan jumlah jemaat terus meningkat, maka dilakukan renovasi pada 2002. “ Semua tiang-tiang penyangga yang telah keropos diganti dengan cor beton bertulang dan dilebarkan ke kanan dan ke kiri. Namun bagian atas (kerangka) yang terbuat dari kayu jati ukuran besar masih cukup kuat sehingga tidak diganti. Bekas poliklinik dimanfaatkan untuk kegiatan jemaat lanjut usia. Lalu membangun Sekolah Minggu 4 lokal, rumah pendeta, garasi , kantor dan sebagainya,” tutur Heri S, salah satu pengurus GITJ Kayuapu Guna membiayai perawatan bangunan, operasional, sarana, prasarana, GITJ Kayuapu ditopang dari 11 hektar lahan yang biasanya ditanami tebu (warisan misi Zending) dan persembahan warga.
Memiliki 13 kelompok pandonga dan setiap tahun baru menggelar tradisi undhuh-undhuh. Awalnya tradisi ini berupa persembahan jemaat berupa aneka jenis hasil bumi, khususnya pertandian dan perkebunan. “Namun dalam beberapa tahun terakhir diganti dalam bentuk uang, karena danggap lebih praktis dan menyesuaikan kondisi serta perkembangan jaman,” tambah Heri S.
Mennonit.
Pendeta GITJ Sunan Muria Kudus, Herin Kahadi Jayanto, selaku pengurus Sinode GITJ menjelaskan, Gereja Kayuapu maupun gereja lain yang berada di wilayah Kudus, Pati,Jepara atau lebih dikenal wilayah Muria, pada umumnya menganut aliran mennonit, yaitu sebuah gerakan Anabaptis era reformasi,dengan salah tokohnya Menno Simons.
Gereja Kayuapu yang semula dikenal sebagai Gereja Kristen Jawa Muria ini sudah tercatat sebagai anggota Konferensi Mennonit Sedunia atau Mennonite World Conferenc sejak sekitar 1960.
Sedang aliran mennonit sendiri secara ringkas diartikan membaptis atas dasar pengakuan iman seseorang yang telah dewasa. Namun pengertian secara luas, menekankan rahmat Allah dihayati dalam cara hidup yang baru seperti ajaran Yesus Kristus.
Masing masing anggota gereja bertanggung jawab bersama atas kehidupan dan pelayanan. Tidak tergantung pada negara dan fasilitasnya untuk mengatur soal iman. serta tidak memakai alat negara untuk mencapai tujuan
Gereja Kristen Jawa Muria ini akhirnya melebur diri menjadi Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) sejak 1965, menyesuaikan semangat gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia yang saat itu mengutamakan bahasa Indonesia serta gereja Kristen Indonesia lainnya.
Pada saat ini GITJ tidak hanya terdapat di seputar Muria saja, melainkan telah meluas ke Semarang , Lampung dan Jambi dengan jumlah gereja lebih dari 101 unit serta jumlah jemaat lebih dari 65.000 jiwa.
Melihat dari dekat tentang GITJ Kayuapu ini teringat sebuah lagu berjudul Gereja Tua yang dibawakan pemusik Panjaitan Bersaudara (Panbers) menjadi salah satu lagu populer, sehingga menyabet piringan emas pada tahun 1986, Syair lagunya merupakan kisah pribadi Benny Panjaitan semasa sekolah. Antara lain bercanda di samping gereja tua. Kala itu masih remaja senja itu di gereja tua.Gereja tua yang perlu adanya kajian teknis arkeologis sebagai upaya penanganan dan rencana pemanfatannya.(sup).