Indonesia: Raksasa Musik yang Sedang Tertidur.

elangmur - Minggu, 11 Agustus 2024 | 19:24 WIB

Post View : 411

Gamelan Indonesia- digandrungi di banyak negara. Foto istimewa.

Tepatnya tahun 1816,Thomas Stamford Raf-fles yang mendudukiPulau Jawa sejak 1811 menyerahkan kedaulatannya kembali kepada Belanda setelah kalah dalam pertempuran laut di Samudra Hindia.Setelah itu, Raffles pulang ke Inggris membawa seperangkat gamelan yang kemudian disimpan di museum kota London.

Pada akhir abad yang sama,Joseph Ellis, seorang peneliti musik, menggunakan gamelan peninggalan Raffles untuk memahami bahwa di belahan dunia lain ada budaya musik yang memiliki sistem penalaan (tuning) berbeda dengan budaya musik Eropa.

Penelitian Ellis ini membuka pintu munculnya sebuah bidang musik akademik yang kemudian bernama etnomusikologi.Istilah ini untuk pertamakali digunakan oleh Jaap Kunst yang dikenal dengan buku seminalnya tentang sejarah dan teori gamelan.

 Buku ini terbit pada 1939 dalam bahasa Belanda sebelum diterjemahkan dengan judul Music in Java: Its History, ItsTheory and Its Technique.Pada akhir abad yang sama,seorang komponis Perancisternama, Claude Debussy,hampir setiap hari datang ke Expo Paris (1889) untuk mendengarkan musik gamelan yang kemudian memengaruhi karya musiknya.

Terus pada awal abad ke-20 gamelan mulai mencuri perhatian dunia musik di Barat, baik dunia musik kreatif maupun akademik. Akibatnya, pada tahun1930 para komponis Barat, seperti Colin McPhee (Kanada) dan Benjamin Britten (InggrisRaya), mengunjungi dan menetap di Bali.

Popularitas gamelan di dua bidang musik ini mencuat keras di dunia internasional ketika: (1) gamelan mulai memengaruhi generasi (muda) komponis Amerika dan Eropa di tahun 1970-an, seperti Ter-ry Riley dan Steve Reich, dan (2) gamelan menjadi inti pelajaran praktik bidang etnomusikologi di Amerika, Eropa,ataupun Asia.

 Melalui gamel-an, Indonesia akhirnya menempati posisi musikal yang sangat kokoh di panggung global sejak 1970-an.Pada akhir 1980, jenis musik seperti gamelan ini populer di pasar global dengan is-tilah world music.

TimothyTaylor, seorang etnomusikolog dalam buku seminalnya,Global Pop: World Music,World Markets, menyatakan bahwa skala pasar world musicdi dunia ketika itu sudah melebihi skala pasar musik jazz dan klasik yang hanya sebesar3 persen dari industri musik keseluruhan.

Sementara itu,pasar untuk world music mencapai 10 persen.Pada dekade berikutnya, industri world music dunia sudah sangat mapan dengan adanya instrumen pasar, seperti World Music Expo(Womex), World Music, Artand Dance (Womad), GrammyAward untuk kategori worldmusic, dan Tangga Lagu worldmusic di majalah Billboard.

Melihat posisi gamelan yang sedemikian populer dipanggung world music dunia,mungkin kita mengira produkworld music Indonesia saat ini pasti sudah memiliki pasar yang mapan di kancah inter-nasional.Ternyata yang terjadia dalah kebalikannya.

Tahun2022, ketika saya merilis Indonesian Music Expo (Imex)di acara Womex di Porto(Portugal), Frank Klaff (CEOWomex) dalam sambutannya mengatakan: ”Womex ini sudah berlangsung selama 27 tahun. Kami tahu Indonesia memiliki kekayaan budaya musik yang luar biasa, tetapiselama ini kalian ke mana saja?”

Setelah dua kali mengunjungiWomex dan eventfestivalshowcase lainnya di Asia-Pa-cific dan Eropa, saya melihat dengan nyata bahwa produkworld music Indonesia memang tidak muncul di permu-kaan pasar. Gamelan sekalipun populer juga hanya hadir dalam lingkungan akademik bidang etnomusikologi.

Dengan kata lain, popularitas gamelanyang sudah dikenal dunia sejak lebih dari 100 tahun ini samasekali tidak memiliki dampak pasar untuk bisa menjajakan produk world music Indonesia yang lainnya.Lalu, mungkin kita bertanya,”Di mana salahnya?” Jika kita mau berpikir kritis dan radikal,masalah ini sebenarnya mencerminkan bagaimana bangsa dan negara kita menyikapi masalah kebudayaan secara keseluruhan.

Jadi, kegagalan gamelan untuk membuka pintu pasar global untuk produk world mu-sic Indonesia lainnya adalah kegagalan bangsa kita untuk memahami apa sebenarnya hakikat, makna, dan fungsi budaya bagi segi kehidupan masyarakat lainnya, seperti kehidupan sosial, politik, ekonomi, bisnis,dan agama dalam konteks sehari-hari.

Kegagalan yang paling fatal dalam konteks ini adalah ketidakmampuan para cendekiawan, politikus, birokrat, diplo-mat, ekonom, pengusaha, dan masyarakat pada umumnya untuk melihat bagaimana budaya”asli” Indonesia sebenarnya bisa menjadi sebuah kapital yang memiliki potensi pasar sangat besar di panggung internasi-onal.

Kesadaran akan hal inilah yang membuat beberapa negara Asia, seperti Korea, China, Jepang, India, Taiwan, Singapura,dan bahkan Thailand, saat ini tampil kuat menjadi produsen ataupun lembaga pasar worldmusic yang memiliki strategi sangat kokoh.

Di dalam strategi ini, kita melihat dengan jelas bahwa para aktor yang terlibat dalam membangun strategi budaya ini bukan hanya para seniman, melainkani juga para birokrat,diplomat, ekonom, pemilik mo-dal, dan cendekiawan.

 Dengan begitu, ini bisa dibilang bahwa negara secara utuh mendukung aspek produksi, promosi,ataupun pemasaran produk budaya mereka di kancah pasar dunia.Sepulang melakukan tur konser Indonesian National Or-chestra (INO) yang kedua di Eropa, saya merasa bahwa tanpa adanya kekompakan dan kekokohan kerja sama di antara komponen masyarakat yang saya sebutkan di atas, Indonesia akan sulit mengejar keterting-galannya dengan negara Asia lain yang berlari semakin kencang dan agresif di pasar budaya dunia yang bernilai ratusan miliar dollar.

Untuk dapat mengatasi ketertinggalan ini, tindakan utama yang harus dilakukan adalah merombak strategi politik luar negeri kita agar Kementerian Luar Negeri RI bisa berfungsi menjadi ujung tombak budaya negara, terutama dalam mempromosikan dan memasarkan produk budaya Indo-nesia.

Saat ini, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di beberapa negara Eropa sudah memiliki apa yang disebut Rumah Budaya Indonesia (RBI). RBI ini sebenarnya dapat menjadi titik awal yang strategis untuk tugas mempromosikan dan memasarkan produk budaya Indonesia di pasar internasional.

Akan tetapi, tugas menjalankan fungsi RBI seperti ini mestinya bukan tugas Kementerian LuarNegeri. Lembaga RBI ini seyogianya dikelola oleh para profesional (swasta) di bidang budaya dan pemasaran yang di-dukung penuh oleh Kemente-rian Koordinasi yang memba-wahi bidang Kebudayaan, Ekonomi Kreatif, Perdagangan,Perindustrian, Perekonomian,dan Penanaman Modal.

Di Brussels, Belgia, misalnya,KBRI kita memiliki RBI dengan fasilitas gedung dan alat musik yang sangat mungkin untuk dikembangkan menjadi semacam model bagaimana RBI mestinya berfungsi sebagai ujung tombak promosi dan pemasaran budaya Indonesia untuk dapat mengatasi ketertinggalan kita dari negara lain, seperti Jepang,Korea, dan China, yang sudah memiliki lembaga/pusat kebudayaannya sendiri di Eropa atau Amerika, yang menjadi pusat pasar budaya dunia.

Semoga rezim pemerintahan kita yang baru nanti memiliki ikhtiar politik (political will) untuk benar-benar memajukan kebudayaan dan menjadikan kebudayaan sebagai kapital untuk sumber devisa baru yang berkelanjutan demi meningkatkan kesejahteraan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia, terutama yang masih kental memiliki kantong budaya di daerahnya, menyongsong tahun Indonesia emas 2045 nanti.(FRANKI RADEN Etnomusikolog dan praktisi”world music”/ Harian Kompas/sup)

Franki Raden- Etnomusikolog dan praktisi "world music" Foto : Kompas/co.id

 

 

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

img single