Kudus, Elang Murianews (Elmu) – Wilayah Kabupaten Kudus yang terdiri dari 9 kecamatan mulai terancam bencana banjir. Setelah sebagian besar wilayah Kabupaten Grobogan selama dua hari terakhir diguyur hujan lebat dengan intensitas curah hujan 50- 100 mili meter per hari. Dan diduga juga imbas dari sebagian kecil wilayah Kabupaten Sragen yang dilanda curah hujan ekstrim 150 mili meter per hari.
Hal itu ditandai dengan pasokan banjir ke pintu pembagi/pengatur banjir Wilalung di Desa Kalirejo Kecamatan Undaan (Kudus) lebih dari 800 meter kubik per detik. Bila debit air terus meningkat, maka Sungai Wulan dan Sungai Juwana yang sebagian berada di wilayah Kudus bakal meluap dan menimbulkan banjir. Kudus sendiri juga dilanda hujan, namun katagorinya masih ringan, yaitu 0,5 – 20 mili meter/hari.
Wilalung memperoleh gelontoran air dari Sungai Lusi yang berhulu di wilayah Kabupaten Blora, Sungai Serang Hilir , Sungai Serang Hulu, Sungai Lanang, yang mengalir dan menyatu di bendung Klambu Kecamatan Klambu Grobogan.
Sedang bencana banjir per Selasa (21 Januari 2025) telah menimpa enam dari 19 kecamatan di Kabupaten Grobogan, yaitu Kecamatan Gubug, Kedungjati, Karangayung, Purwodadi, Grobogan dan Toroh. Bahkan puluhan warga telah diungsikan.
Menurut pemerhati lingkungan, Hendy Hendro, selain akibat tingginya curah hujan, banjir yang terjadi di Grobogan dan sekitarnya, juga disebabkan hulu daerah aliran sungai (DAS) Lusi di wilayah Grobogan rusak. Kerusakan serupa juga berlangsung di DAS Juwana dan DAS Tuntang. Terjadinya deforestasi maupun perhutanan sosial. WRI (World Resources Institute, 2000) mendefinisikan deforestasi sebagai konversi lahan hutan untuk kepentingan lahan pertanian
Hendy menambahkan, berdasarkan hasil analisa, dan pengamatan dilapangan serta hasil wawancara singkat dengan petani yang mengikuti program Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS), terjadinya deforestasi dapat disebabkan :
Kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang Perhutanan Sosial (PS) masih sangat rendah, sehingga tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sosialisasi dan edukasi pada masyarakat kurang lengkap mestinya disampaikan dampak positip dan negatipnya. Mereka tidak menyadari dampak negatipnya, yg mereka tahu dampak positipnya saja bisa mendapatkan untung dari usaha pemanfaatannya.
Lalu pendamping yang kurang memahami aturan dan tidak menguasai PS, umumnya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM) yang kurang memahami persoalan konservasi, RHL.Pengawasan, monev dan penegakan aturan yang kurang dijalankan, sangat lemah sekali. “ kurang dipercayanya penyuluh kehutanan dibandingkan dengan pendamping dari LSM, maupun kurang diberdayakan Penyuluh Kehutanan dalam perhutanan sosial,” tegasnya.(sup).