Kudus Mulai Terancam Banjir

elangmur - Rabu, 22 Januari 2025 | 08:15 WIB

Post View : 153

Peta sebaran curah hujan- se Provinsi Jawa Tengah dari BMKG per S Senin (20/1/2025) foto repro.

Kudus, Elang Murianews (Elmu) – Wilayah Kabupaten Kudus  yang terdiri dari 9 kecamatan mulai terancam bencana banjir. Setelah  sebagian besar wilayah Kabupaten Grobogan selama dua hari terakhir diguyur hujan lebat dengan intensitas curah hujan 50- 100 mili meter per hari. Dan diduga juga imbas dari sebagian kecil wilayah Kabupaten Sragen  yang dilanda  curah hujan ekstrim 150 mili meter per hari.

              Hal itu ditandai dengan pasokan  banjir ke pintu pembagi/pengatur banjir Wilalung di Desa Kalirejo Kecamatan Undaan (Kudus) lebih dari 800 meter kubik per detik. Bila  debit air terus meningkat, maka Sungai Wulan dan Sungai Juwana yang sebagian berada di wilayah Kudus bakal meluap dan menimbulkan banjir. Kudus sendiri juga dilanda hujan, namun katagorinya masih  ringan, yaitu 0,5 – 20 mili meter/hari.

            Wilalung memperoleh  gelontoran air dari Sungai Lusi yang berhulu di wilayah Kabupaten Blora,  Sungai Serang Hilir , Sungai Serang Hulu, Sungai Lanang,  yang mengalir dan menyatu di bendung Klambu Kecamatan Klambu Grobogan.

            Sedang bencana banjir per Selasa (21 Januari 2025) telah menimpa  enam dari 19 kecamatan di Kabupaten Grobogan, yaitu Kecamatan Gubug, Kedungjati, Karangayung, Purwodadi, Grobogan dan Toroh. Bahkan  puluhan warga  telah diungsikan.

DAS Lusi - di wilayah Grobogan foto istimewa.

          Menurut pemerhati lingkungan, Hendy Hendro, selain akibat tingginya curah hujan, banjir yang terjadi di Grobogan dan sekitarnya, juga disebabkan  hulu daerah aliran sungai (DAS) Lusi di wilayah Grobogan rusak. Kerusakan serupa juga berlangsung di DAS Juwana dan DAS Tuntang.  Terjadinya deforestasi maupun  perhutanan sosial. WRI (World Resources Institute, 2000) mendefinisikan deforestasi sebagai konversi lahan hutan untuk kepentingan lahan pertanian

Daerah Aliran Sungai (DAS) Tuntang- di perbatasan Kabupaten Semarang dengan Grobogan. Foto istimewa.

             Hendy  menambahkan, berdasarkan hasil analisa, dan pengamatan dilapangan serta hasil wawancara singkat dengan petani yang  mengikuti program  Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS), terjadinya deforestasi dapat disebabkan :

             Kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang Perhutanan  Sosial (PS) masih sangat rendah, sehingga tidak sesuai dengan yang diharapkan.  Sosialisasi dan edukasi pada masyarakat kurang lengkap mestinya disampaikan dampak positip dan negatipnya. Mereka tidak menyadari dampak negatipnya, yg mereka tahu dampak positipnya saja bisa mendapatkan untung dari usaha pemanfaatannya.

                Lalu pendamping yang  kurang memahami aturan dan tidak  menguasai PS, umumnya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM) yang kurang memahami persoalan konservasi, RHL.Pengawasan, monev dan penegakan aturan yang kurang dijalankan, sangat lemah sekali. “ kurang dipercayanya penyuluh kehutanan dibandingkan dengan pendamping dari LSM, maupun kurang diberdayakan Penyuluh Kehutanan dalam perhutanan sosial,” tegasnya.(sup).

 

Halaman:

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

img single