Kudus, Elang Murianews- Meski pemerintah kabupaten Kudus telah memiliki peraturan daerah (Perda ) nomor 15 tahun 2017 tanggal 21 Juni 2017 tentang penanggulangan gelandangan, pengemis dan anak jalanan, namun sampai menjelang akhir Mei 2024. Atau sekitar tujuh tahun terakhir, di Kota Kretek masih ditemukan lumayan banyak gelandangan, pengemis dan anak jalanan.Seperti di sejumlah perempatan jalan strategis, di pertokoan hingga lokasi wisata. Diantara mereka tersebut yang sering banyak disebut “manusia silver”, dan ditandai dengan hampir sekojur tubuhnya “dicat” warna silver/perak.
Dengan fakta di lapangan tersebut patut dipertanyakan kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Mengingat atas dasar UU Nomor 23 Tahun 2014 Lembar No.56791 pasal 256 ayat (7) yang menjelaskan Tugas, Pokok, dan Fungsi Satpol PP adalah :menegakkan Perda, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan Pelindungan Masyarakat.Begitu pula peran dari Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Kelurga Berencana (Dinsos P3AP2KB).
Sedang menurut Ir Lies Hartono atau lebih dikenal dengan nama Cak Lontong, salah satu comedian andal Indoensia, sebuah negara tidak akan hancur oleh seribu pengemis yang ada di negara tersebut tapi sebuah negara akan hancur hanya dengan ada beberapa koruptor di negara tersebut.
Isi Perda
Menurut Pasal 5 Perda nomor 15 tahun 2017 tanggal 21 Juni 2017 tentang penanggulangan gelandangan, pengemis dan anak jalanan : Pengemis adalah orang-orang dengan kriteria: a. mata pencahariannya meminta-minta dan/atau tergantung pada belas kasihan orang lain; b. berpakaian kumuh, berpenampilan kurang layak, dan berada di tempat-tempat umum; dan c. memperalat sesama dan/atau mempergunakan alat untuk meminta belas kasihan orang lain.
Pada Pasal 19 disebutkan: setiap orang dilarang: a. melakukan kegiatan menggelandang dan/atau mengemis baik perorangan atau berkelompok dengan alasan, cara dan alat apapun untuk menimbulkan belas kasihan orang lain; b. memperalat orang lain dengan mendatangkan seseorang/beberapa orang baik dari dalam daerah ataupun dari luar daerah untuk maksud melakukan kegiatan menggelandang, mengemis, dan/atau anak jalanan ( Anjal); c. mengajak, membujuk, membantu, menyuruh, memaksa, dan mengkoordinir orang lain secara perorangan atau berkelompok sehingga menyebabkan terjadinya kegiatan menggelandang, mengemis, dan/atau Anjal; dan/atau d. memberi uang dan/atau barang dalam bentuk apapun kepada Gelandangan, Pengemis, dan Anjal di tempat umum.
Dan dalam Pasal 21 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 19 huruf a, diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) minggu dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 19 huruf b diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(3) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 19 huruf c diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) .
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 19 huruf d diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) hari dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Perda itu sendiri sudah “berumur” sekitar empat tahun lebih enam bulan, tapi eksekusinya di lapangan- nampaknya masih perlu dipertanyakan
Manusia Silver
Adalah Gogon dan Gigin- dua nama samaran, yang menyamar sebagai manusia silver- perak. dan telah menjalankan aksinya di seputar perempatan jalan – lampu lalu lintas- lampu “bangjo” Jember- Kudus Kulon, sejak sekitar dua setengah tahun terakhi.
Gogon sudah beristeri dan mempunyai dua anak yang masih kecil. Asal Tasikmalaya Jawa Barat. Isterinya bekerja secara serabutan-tidak tetap. “Saya berpindah pindah dari kota ke kota. Sempat ke Batam dan beberapa bulan terakhir di Kudus. Setahun sekali kami baru pulang ke Tasikmalaya,” tuturnya.
Sedang Gigin masih berusia 18 tahun. Lajang yang hanya mengenyam hingga lulus Sekolah Dasar (SD) ini mengaku berasal dari Karangayung Grobogan. “ Saya ikut embah dan memang tidak punya pekerjaan tetap. Saya telah berusaha tapi karena hanya lulusaan SD, ya akhirnya tidak ada perusahaan yang mau menerima saya sebagai karyawannya,” tuturnya. Gogon dan Gigin sama sama menyewa sebuah kamar dengan ongkos Rp 250.000 per bulan di seputar Kelurahan Purwosari.
Keduanya dalam menjalankan “aksi”, hampir selalu mengecat sebagian besar tubuhnya dengan cat warna silver atau perak. “Satu kaleng harganya sekitar Rp 60.000 – Rp 70.000. Bisa dipakai selama sekitar sebulan. Bisa mudah dihilangkan dicuci dengan sabun. Biar menarik perhatian saja,” tuturnya.
Sementara sejumlah warga yang mengenakan busana badut dan bertopeng, beroperasi di sejumlah perempatan jalan yang ramai lalulintasnya. Seperti perempatan jalan UMK, Kliwon, jalan lingkar lingkar Panjang – Gribig dan simpang lima jalan lingkar timur.
Sedang yang berpakaian lusuh dan umumnya anak perempuan-laki-laki, ibu-ibu banyak beroperasi di seputar perempatan jalan Pasar Bitingan. Sedang sejumlah ibu-ibu hampir setiap hari nampak mengemis di seputar komplek wisata ziarah Masjid Menara Makam Sunan Kudus di Kudus Kulon,
Sebuah fakta pahit, jika kita menyimak data APBD Kudus 2024 sebesar Rp 2,1 triliyun dan kucuran dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) rata-rata di atas Rp 100 miliar/tahun, tetapi mash banyak dijumpai pengemis, gelandangan dan anak jalanan.(sup)