Kudus, Elang Murianews (Elmu)- Kondisi persampahan di Kabupaten Kudus sat ini bagai membungkam reputasi kabupaten yang berpenduduk 874.800 jiwa . Terutama dengan perolehan Adipura Kencana (piagam penghargaan pemerintah pusat untuk koat kecil terbersih selama lima tahun berturut-turut. Dan Adipura versi terbaru 2022 dan 2023.
Namun reputasi cemerlang tersebut nampaknya bakal tenggelam, seiring sejak ditutupnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Desa Tanjungrejo Kecamatan Jekulo, sekitar 8 kilometer dari pusat pemerintahan daerah/kabupaten Kamis 16 Januari 2025, maka ibaratnya di setiap sudut nampak berserakan aneka jenis sampah. “Jika dibiarkan begitu saja dan tidak ada solusinya, Kudus bakal menjadi kota sakit yang istilahnya disebut Miserapolis atau ghetto” ujar Hendy Hendro pemerhati lingkungan, Senin ( 20 /1/2025). Menjadi kota yang semrawut, jorok, kotor dan berpotensi menimbulkan penyakit. Membuat ketidaknyamanan, dan merusak keindahan, tambahnya.
Padahal pada tahun 2022 dan 2023, Kota Kretek ini sempat menyabet Piala Adipura. Bahkan sempat pula meraih Adipura Kencana. Dan sebagai bentuk apresiasi kepada semua pihak Pemda/Pemkab Kudus membangun Tugu dan Taman Adipura Kencana, di perempatan Jalan Sempalan Desa Jati Wetan.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar , penghargaan Adipura merupakan agenda nasional yang telah digulirkan sejak tahun 1986. Untuk memperoleh Adipura , berdasarkan penilaian terhadap fisik kota, kinerja pengelolaah sampah dan ruang terbuka hijau (RTH), kondisi operasional dari TPA. Serta inovasi yang dilakukan daerah dalam mewujudkan kota bersih, teduh dan berkelanjutan.
Namun dengan munculnya keberanian, juga puncak kemarahan rakyat dan pemerintah Desa Tanjungrejo Kamis 16 Januari 2025 dengan menutup TPA Tanjungrejo yang dibangun pada tahun 1991 bagai membuka tabir “aib” dari banyak pihak. Terutama kalangan pemerintah.
Fakta menunjukkan, TPA Tanjungrejo yang dibangun di atas lahan milik Pemkab Kudus seluas 5,6 hektar sebenarnya terencana cukup baik dan berkelanjutan. Diawali era pembangunan saat Soedarsono menjadi Bupati Kudus periode 1988-1988, Amin Munadjat ( 1998- 2003) dan M Tamzil (2003-2008).
Namun saat Bupati Kudus beralih ke tangan Musthofa ( 2008-2018) dan Sumiyatun sebagai Kepala Dinas Cipta Karta Tata Ruang (Ciptakaru, yang kemudian berganti Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup /PKPLH), nampaknya terlena untuk terus mempertahankan dan mengejar Adipura sebagai tujuan utama. Juga sebagai bentuk gengsi- harga diri.
Sebenarnya itu sah sah saja. Namun ada mata rantai yang diputus dengan “melenyapkan” program pembuatan pupuk granul yang sebelumnya telah berjalan sesuai program. Tinggal melanjutkan menerbitkan payung hukumnya.
Pupuk granul sebenarnya telah mampu mengerem laju pertambahan volume sampah TPA Tanjungrejo 15-20 persen. Sekaligus mampu memperpanjang umur TPA yang dipatok 25 tahun , terhitung sejak pembangunan dimulai ( 1991).
Musthofa dan Sumiyatun lebih memilih membangun sebuah taman megah dengan 10 gazebo di samping kanan depan komplek TPA. Dengan cara ini, akhirnya Kudus berhasil meraih Adipura kembali. Namun luasan TPA berkurang hingga hampir satu hektar. Juga mengorbankan empat diantara enam zona dengan keperuntukan yang berbeda,
Terkuak
Keduanya hanya fokus penanganan TPA saja dan melupakan penanganan sampah dengan sistem dan teknologi terbaru. Segenap akar rumput (warga) tidak diajak dan diajari memilah sampah organik dan unurganik, memperbanyak tempat penampungan (sampah) sementara, pendirian bank-bank sampah dan sebagainya. Itu berlanjut era Bupati Kudus Hartopo,Penjabat Bupati Kudus, Hasan Chabibie serta Kepala Dinas PKPLH Agung Karyanto maupun Abdul Halil..
Dampaknya semakin nyata. Taman TPA di awal 2022 digusur-diratakan dengan tanah. Dengan tujuan untuk memperluas kembali lahan dengan semakin terus melonjaknya pasokan sampah. Dan sebenarnya pihak Dinas PKPLH sudah menyatakan TPA dalam kondisi kelebihan beban dan meminta untuk perluasan lahan. Tetapi hingga menjelang akhir bulan Januari 2025 belum juga disetujui. Sebab banyak faktor dan alasan.
Apapun alasannya, yang pasti sampai sekarang tidak pernah terpogram secara transparan, jika TPA itu mau diperluas atau dipertahankan. Alih alih program sistematis dan terukur, data tentang kegiatan sehari-hari TPA yang saat ini dikomandani Eko Warsito juga amburadul.
Contoh alat berat yang dioperasikan, jenis dan kemapuan masing masing alat berat setiap jam/jam kerja n(7- 8 jam), pengeluaran biaya operasional, 15 orang yang disebut disebut dipekerjakan di sana, ternyata berstatus pemulung.
Lalu sistem Controlled landfill yang ditrapkan, yaitu menimbun sampah, lalu diratakan dan dipadatkan. Kemudian sampah pada waktu tertentu akan ditutup dengan lapisan tanah. Dengan tujuan memperkecil dampak yang dapat timbul dan merugikan lingkungan.
Namun kenyataaan di lapangan, sejak tahun 2018 karena kondisinya sudah kelebihan beban dan enam zona penunjang mulai tidak berfungsi. Akibatnya terjadi keboboran di sana sini. Ironisnya lagi, petak petak dalam setiap zona, yang dibangun dengan beton bertulang sebagian besar tertutup aneka sampah , tanah maupun padas.
Lalu tidak ada petugas Dinas KPLH yang rutin mengecek air limbah TPA yang masuk ke sungai terdekat maupun yang merembes ke lahan pertanian hingga sumur warga. Kemudian anggaran untuk pembelian tanah urug juga tidak jelas jumlah rupiahnya hingga jumlah meter kubik dan jangkauan/hasilnya.
Di bangunan pojok depan sisi selatan tertera tulisan budidaya maggot. Namun beberapa kali dicek ke lapangan, itu hanya sekedar tulisan belaka. Tidak ada wujudnya (barang). Maggot adalah larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF) yang berbentuk seperti belatung. Maggot merupakan organisme pembusuk yang mengonsumsi bahan organik untuk tumbuh. Memiliki banyak manfaat, di antaranya, sebagai media pengurai sampah organik, pakan ternak alternatif dan juga sebagai pakan ikan.
Lalu TPA Tanjungrejo juga sebagai tempat pemusnahan rokok- pita cukai palsu/illegal dari Kantor Bea Cukai Kudus, namun ketika beberapa kali ditanyakan, belum pernah diberikan bukti tanda terima hingga pelaksanaan pemusnahan.
Sedang di bagian sisi belakang TPA pojok utara, terlihat dengan jelas sebagian zona yang terbuat dari beton bertulang dan sebagian besar sudah tertutup sampah, tanah, rumput dan tumbuhan liar.Zona ini mengarah kepada satu titik, yaitu sungai terdekat yang berjarak sekitar 50 meteran.
Lalu ada lahan pertanian seluas sekitar satu hektar milik salah satu anggota DPRD Kudus. Lahan ini sebenarnya cocok untuk perluasan TPA. Selain letak yang berdekatan dan posisinya di bawah sehingga berdaya tampung (sampah ) lebih banyak. Cukup jauh dari pemukiman. Hanya saja warga dan pemerintah Desa Tanjungrejo sudah sepakat untuk menolak adanya perluasan TPA.(Sup)