Sampah Kini Membungkam Reputasi Kudus

elangmur - Senin, 20 Januari 2025 | 22:05 WIB

Post View : 350

Areal pertanian- yang sebagian kecil masih terlihat "di bawah" bagian belakang sisi utara TPA Tanjungrejo. Foto sup

Kudus, Elang Murianews (Elmu)- Kondisi persampahan di Kabupaten Kudus sat ini bagai membungkam reputasi kabupaten yang berpenduduk 874.800 jiwa . Terutama dengan perolehan Adipura Kencana (piagam penghargaan pemerintah pusat untuk koat kecil terbersih selama lima tahun berturut-turut. Dan Adipura versi terbaru 2022 dan 2023.

                 Namun reputasi cemerlang tersebut nampaknya bakal tenggelam, seiring sejak ditutupnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Desa Tanjungrejo  Kecamatan Jekulo, sekitar 8 kilometer dari pusat pemerintahan daerah/kabupaten Kamis 16 Januari 2025, maka ibaratnya di setiap sudut nampak berserakan aneka jenis sampah. “Jika dibiarkan begitu saja dan tidak ada solusinya, Kudus bakal menjadi kota sakit  yang   istilahnya disebut Miserapolis atau ghetto” ujar Hendy Hendro pemerhati lingkungan, Senin ( 20 /1/2025). Menjadi  kota yang  semrawut, jorok, kotor dan berpotensi menimbulkan penyakit. Membuat ketidaknyamanan, dan merusak keindahan, tambahnya.

                 Padahal pada tahun 2022 dan 2023, Kota Kretek ini sempat menyabet Piala Adipura. Bahkan sempat pula meraih Adipura Kencana. Dan sebagai bentuk apresiasi kepada semua pihak Pemda/Pemkab Kudus membangun  Tugu dan Taman Adipura Kencana, di perempatan Jalan Sempalan Desa Jati Wetan.

                Menurut Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar , penghargaan  Adipura merupakan agenda nasional yang telah digulirkan sejak tahun 1986. Untuk memperoleh Adipura , berdasarkan penilaian terhadap fisik kota, kinerja pengelolaah sampah dan ruang terbuka hijau (RTH), kondisi operasional dari TPA. Serta  inovasi yang dilakukan daerah dalam mewujudkan kota bersih, teduh dan berkelanjutan.

                Namun dengan  munculnya  keberanian, juga puncak kemarahan rakyat dan pemerintah Desa Tanjungrejo  Kamis 16 Januari 2025 dengan  menutup TPA Tanjungrejo yang dibangun pada tahun 1991 bagai membuka tabir “aib” dari banyak pihak. Terutama kalangan pemerintah.

Zona-zona - di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tanjungrejo Jekulo awal pembangunan sekitar tahun 1991- 1996. Foto Sup.

                Fakta menunjukkan,  TPA Tanjungrejo yang dibangun di atas lahan milik Pemkab Kudus seluas 5,6 hektar sebenarnya terencana cukup baik dan berkelanjutan. Diawali era pembangunan saat Soedarsono menjadi Bupati Kudus periode  1988-1988, Amin Munadjat ( 1998- 2003) dan  M Tamzil (2003-2008).

                Namun saat  Bupati Kudus beralih ke tangan Musthofa ( 2008-2018) dan Sumiyatun sebagai Kepala Dinas Cipta Karta Tata Ruang (Ciptakaru, yang kemudian berganti  Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup /PKPLH), nampaknya terlena untuk terus  mempertahankan  dan mengejar  Adipura  sebagai tujuan utama.  Juga sebagai bentuk gengsi- harga diri.

                Sebenarnya itu sah sah saja. Namun  ada mata rantai yang diputus dengan “melenyapkan” program pembuatan pupuk granul yang sebelumnya telah berjalan sesuai program. Tinggal melanjutkan  menerbitkan payung hukumnya.

                Pupuk granul sebenarnya telah mampu mengerem laju  pertambahan  volume sampah  TPA Tanjungrejo  15-20 persen. Sekaligus mampu memperpanjang umur TPA yang dipatok  25 tahun , terhitung sejak  pembangunan dimulai ( 1991).

                Musthofa dan Sumiyatun lebih memilih membangun  sebuah taman megah dengan 10 gazebo  di samping kanan depan komplek TPA. Dengan cara ini, akhirnya Kudus berhasil meraih Adipura kembali. Namun luasan TPA berkurang hingga hampir satu hektar. Juga mengorbankan empat diantara enam zona dengan keperuntukan yang berbeda,

Terkuak

                Keduanya hanya fokus penanganan TPA saja dan melupakan penanganan sampah dengan sistem  dan teknologi terbaru. Segenap akar rumput (warga) tidak diajak dan diajari memilah sampah  organik dan unurganik, memperbanyak tempat penampungan (sampah) sementara, pendirian bank-bank sampah dan sebagainya. Itu berlanjut era Bupati Kudus Hartopo,Penjabat Bupati Kudus, Hasan Chabibie serta  Kepala Dinas PKPLH Agung Karyanto maupun Abdul Halil..

               Dampaknya semakin nyata. Taman TPA  di awal 2022 digusur-diratakan dengan tanah. Dengan tujuan untuk memperluas kembali lahan dengan semakin terus melonjaknya pasokan sampah. Dan sebenarnya pihak Dinas PKPLH sudah menyatakan TPA dalam kondisi kelebihan beban  dan meminta untuk perluasan  lahan. Tetapi hingga menjelang akhir bulan Januari 2025  belum juga disetujui.  Sebab banyak faktor dan alasan.

              Apapun alasannya, yang pasti sampai sekarang  tidak pernah terpogram secara transparan, jika  TPA itu mau diperluas atau dipertahankan. Alih alih  program  sistematis  dan terukur, data tentang  kegiatan sehari-hari TPA  yang saat ini dikomandani  Eko Warsito juga amburadul.

              Contoh alat berat yang dioperasikan, jenis dan kemapuan masing masing alat berat setiap jam/jam kerja n(7- 8 jam), pengeluaran biaya operasional,  15 orang yang disebut disebut dipekerjakan  di sana, ternyata berstatus pemulung.

              Lalu sistem Controlled landfill  yang ditrapkan, yaitu menimbun sampah, lalu diratakan dan dipadatkan. Kemudian sampah pada waktu tertentu akan ditutup dengan lapisan tanah. Dengan tujuan memperkecil dampak yang dapat timbul dan merugikan lingkungan. 

              Namun kenyataaan di lapangan, sejak  tahun 2018  karena kondisinya sudah kelebihan beban dan enam zona penunjang  mulai tidak berfungsi. Akibatnya terjadi keboboran di sana sini. Ironisnya lagi, petak petak dalam  setiap zona, yang dibangun dengan beton bertulang  sebagian besar tertutup aneka sampah , tanah maupun padas.

              Lalu tidak ada petugas Dinas KPLH yang rutin mengecek air limbah TPA yang masuk ke sungai terdekat maupun yang merembes ke lahan pertanian hingga sumur warga. Kemudian anggaran untuk pembelian tanah urug juga tidak jelas jumlah rupiahnya hingga  jumlah meter kubik dan  jangkauan/hasilnya.

             Di bangunan pojok depan sisi selatan tertera tulisan budidaya maggot. Namun beberapa kali dicek ke lapangan, itu hanya sekedar tulisan belaka. Tidak ada  wujudnya (barang). Maggot adalah larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF) yang berbentuk seperti belatung. Maggot merupakan organisme pembusuk yang mengonsumsi bahan organik untuk tumbuh. Memiliki banyak manfaat, di antaranya, sebagai media pengurai sampah organik,  pakan ternak alternatif dan juga sebagai pakan ikan. 

             Lalu  TPA Tanjungrejo juga sebagai tempat pemusnahan  rokok- pita cukai palsu/illegal dari  Kantor Bea Cukai Kudus, namun  ketika beberapa kali ditanyakan, belum pernah diberikan bukti tanda terima hingga pelaksanaan pemusnahan.

              Sedang  di bagian sisi belakang TPA pojok  utara,  terlihat dengan jelas  sebagian zona yang terbuat dari beton bertulang dan  sebagian besar sudah tertutup sampah, tanah, rumput dan tumbuhan liar.Zona ini mengarah kepada satu titik, yaitu sungai terdekat yang berjarak sekitar 50 meteran.

Zona-yang dibangun beton bertulang banyak yang tertimbun sampah, tanah, padas, rumput dan pohon liar. Juga banyak dinding yang roboh dan retak di sana sini. Foto sup ( Minggu 19 Januari 2025).

            Lalu ada  lahan pertanian seluas  sekitar satu hektar milik salah satu anggota DPRD Kudus. Lahan ini sebenarnya cocok untuk perluasan TPA. Selain letak yang berdekatan dan  posisinya di bawah sehingga berdaya tampung (sampah ) lebih banyak. Cukup jauh dari pemukiman.  Hanya saja warga dan pemerintah Desa Tanjungrejo sudah sepakat untuk menolak adanya perluasan TPA.(Sup)

 

Halaman:

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

img single