Kudus, Elang Murianews- Sistem ijon sampai sekarang masih berlaku di kalangan pemilik modal atau tengkulak dengan petani Alpukat Muria yang dikemas dalam “tajug” tebasan. Besar kecilnya harga tebasan tergantung, banyak sedkitnya buah. Atau besar kecilnya ukuran pohon/batang, hingga kualitas buahnya.
Dengan sistem ijon tersebut pada umumnya lebih menguntungkan pengijon dibanding petani. Namun pengijon bisa juga “jeblok”, gegara serangan hama dan gangguan alam. Petani lebih banyak memilih sistem tebasan yang dilakukan tengkulak, karena desakan kebutuhan ekonomi. “Jadi ketika saya butuh dana segar dalam waktu singkat, maka pohon alpukat saya yang baru pentil-calon buah terpaksa jual,” tutur ujar Sucipto (54) warga Desa Ternadi RT 02/RW 02 Kecamatan Dawe (Kudus), Minggu ( 7/7/2024) yang memiliki berapa pohon .
Sebaliknya pada tahun 2020, Karjan (52 tahun) dari Desa Kajar Kecamatan Dawe, yang memiliki pohon alpukat setinggi sekitar 15 meter di di depan rumahnya “ditebas” pengepul/tengkulak sedesar Rp 22 juta. Padahal pada tahun 2016 hanya laku Rp 8 juta. Lalu tahun 2017 naik menjadi Rp 10 juta. Tahun 2018 naik lagi Rp 13 juta. Setahun kemudian melonjak menjadi Rp 16 juta. “ “Pohon ini memiliki keunggulan dalam jumlah panen. Pada 2020 hasil yang didapat mencapai 8 kuintal dengan kualitas alpukat kelas super,” ujarnya.
Rifa’i (51 tahun), sang pengepul membenarkan hal itu. Ia berani menebas sebesar Rp 22 juta, karena buah alpukat milik Karjan berkualitas super. Atau rata –rata di ata s kelas A. Yaitu berat buah minimal 500 gram. Tidak cacat dan kematangannya merata. Selain itu saya pasarkan langsung ke Jakarta atau kota kota besar lainnya,” tuturnya.
Menurut Kepala Desa Kajar, Bambang Totok Subianto, yang dihubungi Minggu (7/7/2024), luas lahan desa 504 hektar, sebagian diantaranya ditanami sekitar 500 pohon alpukat yang semuanya sudah produksi. Selain itu juga ditanami durian, jambu air, hingga ketela pohon.
Sedang Agung Tri Handoyo (42 tahun), warga Desa Ternadi memiliki lahan warisan dari keluarganya seluas dua hektar. Sebagian besar ditanami 100 pohon alpukat jenis kendil, mentega dan alugator. Sebagian besar sudah mampu berbuah. Dalam sekali panen mampu menghasilkan sekitar 1,5 ton Bila satu kilogram laku Rp 30.000,- saja, ia sudah mengantongi duit sekitar Rp 45 juta. Belum termasuk hasil penjualan bibit tanaman.
Desa Ternadi pada Kamis (16/12/2021) sempat ditanami 2.000 bibit alpukat, hasil kerjasama antara Universitas Muria Kudus (UMK),Pemprov Jateng, Pemkab Kudus, Kementan, Kemen LH, Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi), Perhutani, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), serta Forum DAS Kawasan Muria (FDKM). Sebagai upaya menjadikan desa Ternadi menjadi sentra buah alpukat dan sekaligus “menciptakan “ desa ini sebagai desa hayati. Termasuk sebagai upaya konservasi
Belum diketahui secara pasti penaman bibit itu berhasil atau tidak. Namun menurut Ketua FDKM, Hendy Hendro, Desa Ternadi “diplaning” menjadi kampung hortikultura buah-buahan.- khususnya jenis alpokat. “ Selain Desa Ternadi, kalau tidak salah Desa Menawan juga diajukan ke menterian pertanian juga menjadi kampung hortikultura untuk tanaman alpokat, sedangkan Desa Rejosari diajukan sebagai kampung hortikultura durian. Desa Japan sepengetahuan saya lebih dulu diajukan sebagai kampung hortikultura alpokat, jadi Desa Ternadi sebagai pengkayaan kampung hortikultura alpokat yang ada di Kudus,” ujarnya.
Hendy Hendro menambahkan, kampung hortikultura merupakan program dari pemerintah untuk menggerakkan, mendorong produksi hortikultura berdaya saing dan ramah lingkungan, Pengembangan hortikultura dilakukan dengan cara khusus ekstraordinari dan inovatif dengan pendekatan secara holistik, terintegratif mulai dari hulu-hilir,,,
Program Kampung hortikultura mengusung semboyan one vilage, one variety (ovov) satu kampung, satu varietas “ Harapannya dengan menanam tanaman tersebut dapat menjadikan penciri dan sebagai identitas penghasil komoditas unggulan didaerah setempat. Tanaman yang ditanam tidak harus tanaman asli daerah setempat. Melainkan dapat juga tanaman yang cocok ditanam di sana.” (sup)