Kudus, Elang Murianews (Elmu)- Dalang Wayang Klithik (Wakli) Sutikno (49) harus menyesuaikan pangsa pasar, agar Wakli tidak punah. Meski ia terpaksa menabrak pakem- sistem-aturan baku dalam “dunia” Wakli. “Saya melakukan tiga aspek perubahan dalam pementasan wayang klithik. Yaitu aspek bahasa, mengubah bahasa Kawi (bahasa Jawa kuno) menjadi bahasa Jawa . Aspek naskah yang semula berkisah tentang ceritera Babat Tanah Jawa , menjadi cerita yang lebih popular. Lalu aspek instrument gamelan dipadukan dengan musik dangdut dan campur sari,” ujarnya seperti dikutip dari jurnal pendidikan volume 14, 1 Februari 2025, Universitas Negeri Semarang (Unes) yang ditulis Natasuwa Cindi Aulia dan Harto Wicaksono.
Bahkan Sutikno juga memberikan dua jenis pelatihan melalui pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal melalui ekstrakulikuler Karawitan di SMP 3 Atap Undaan, Kudus setiap Sabtu pada pukul 13.00-16.00 WIB untuk siswa kelas 7-9. Sedang pendidikan non formal untuk semua warga yang berminat.
Pelatihan mencakup, dalang, gamelan, dan nyinden. Sedang naskah cerita, instrumen, dan lagu disesuaikan untuk membangun kecintaan peserta terhadap budaya wayang klithik. “ Ini bentuk konkrit nguri- uri , melestarikan dan mengembangkan wayang klithik “ tambah Sutikno
Sarana dakwah.
Wakli menurut Afriani Hapsari, mahasiswa Seni Rupa S1 Jurusan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Semarang 2016, adalah khas Kudus. Dan dimanfaatkan sebagai media dahwah pada masa berkembangnya agama Islam sekitar abad 16-17 Masehi.
Namun menurut Sutikno , Wakli asli “produksi” Desa Wonosoco Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus. Sedang penciptanya Pekik Trunojoyo, pada masa Kerajaan Mojopahit, “Saya setuju jika Sunan Kudus menjadikan WK sebagai alat dakwah. Sebab masing masing Wali Sanga memiliki cara tersendiri untuk menyiarkan agama Islam saat itu.” ujarnya saat berbicara panjang lebar Rabu siang (24/2/2021) di rumahnya yang sederhana Desa Wonosoco.
Dalang tunggal Wakli ini menambahkan, sejak bapaknya almarhum Sumarlan yang juga dalang Wakli selalu menuturkan hubungan yang tidak terpisahkan antara Wakli dengan sendang yang ada di desa ini. “Setiap tahun sekali, atau bertepatan dengan hari Sabtu Kliwon, bulan tujuh (Juli), Wakli wajib dipentaskan di salah satu sendang tersebut. Itu sudah berjalan secara turun temurun. Sedang pembuat wayangnya juga ada warga Blora. Namun untuk lebih tepatnya, saya sangat setuju jika ada para pihak yang peduli terhadap Wakli ” tutur Sutikno
Wakli merupakan salah satu kesenian unik khas Kudus, yang hanya terdapat di Desa Wonosoco Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus. Disebut wakli, bukan hanya karena ukurannya kecil, tetapi dari bunyi ‘klithik- klithik’ yang terjadi saat masing-masing tokoh dalam wayang ini saling beradu. Bunyi benturan terdengar karena WK berbahan dasar kayu jati. Sedang bentuknya relatif lebih kecil dibanding wayang kulit purwa. WK tidak menggunakan cempurit (gagang/tiang penyangga), karena terbuat dari kayu pipih.
Sebaliknya wayang kulit pada umumnya terbuat dari kulit, tanduk kerbau, bambu atau kayu jenis secang). Sedang WK samasekali tidak menggunakan kulit kerbau, diyakini erat kaitannya dengan dikeramatkannya sapi pemeluk agama Hindu saat itu. Masyarakat sangat menghargai ajaran-ajaran agama Hindu. Bentuk penghargaan- toleransi itu juga ditrapkan Sunan Kudus dalam setiap dakwahnya untuk menyebar luaskan agama Islam.
Unesco- warisan budaya
Pada tanggal 7 November 2003 seni wayang Indonesia dinobatkan sebagai warisan budaya lisan nonbendawi oleh Unesco. Melalui sebuah piagam bertuliskan “Wayang Puppet Theatre Indonesia a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity”.
Wayang merupakan cagar budaya dan salah satu kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia. Wayang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Hal itu perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk kemakmuran rakyat.
Untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Cerita pewayangan sarat dengan pesan kebajikan dalam hal pendidikan, dakwah, hiburan, kritik sosial, humanisme yang mengandung nilai sejarah. (sup).