Kudus,Elangmurianews –Bangunan Pengendali Banjir atau BPB Wilalung yang berada sekitar 100 meter belakang pasar tradisional di Desa Kalirejo Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus masih gagah. Masih perkasa. Masih mampu “mengendalikan “ banjir. Meski umurnya sudah 107 tahun dan sempat mau dipensiunkan.
Itu artinya secara tidak langsung menyelamatkan puluhan-ratusan ribu warga – penduduk dan puluhan ribu hektar lahan pertanian, perkebunan dan tambak. yang berdiam dan terdapat di sepanjang kanan –kiri Sungai Wulan dan Sungai Juwana. Aliran Sungai Wulan sepanjang 48,62 kilometer yang dibangun pada tahun 1892 ini melewati wilayah Kecamatan Undaan, Jati Kabupaten Kudus. Dan Kecamatan Karanganyar, Mijen , Wedung Kabupaten Demak. Lalu berakhir di Laut Jawa.
Sedang aliran Sungai Juwana dari BPB Wilalung sebelum tiba di Laut Jawa wilayah Kecamatan Juwana Kabupaten Pati sepanjang 62, 2 kilometer, lebih dahulu melintas di wilayah Kecamatan Undaan, Mejobo, Jekulo Kudus, Margorejo, Kota Pati, Kayen, Sukolilo, Gabus, Juwana Kabupaten Pati.
BPB Wilalung dibangun pemerintah Belanda pada periode 1908 -1916, tetapi baru dioperasikan pada tahun 1918. Memiliki 11 pintu. Dengan rincian, dua pintu mengarah ke Sungai Wulan serta sembilan pintu mengarah ke Sungai Juwana. BPB Wilalung yang tercatat sebagai cagar budaya tersebut, memperoleh gelontoran air dari Bendung Klambu yang berada di Desa Penganten Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan.
Di sela-sela 11 pintu yang digerakkan secara elektronik ini, digelar “karpet” baja selebar sekitar satu meter dan berpagar besi. Fungsinya untuk lalulintas sepeda motor, sepeda onthel, pejalan kaki, yang nyaris mengalir tiada henti selama 24 jam. Warga yang berlalulintas melalui BPB Wilalung beranggapan sebagai jalan pintas, jalan potong kompas. Menuju wilayah Kecamatan Dempet, Karanganyar dan Gajah Kabupaten Demak.
Sungai Juwana.
Pada awalnya, sembilan pintu yang mengarah ke Sungai Juwana mampu menerima beban gelontoran banjir 600-1.650 meter kubik per detik (berdasar buku Antisipasi Penanganan Banjir 2007/2008 Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Serang Lusi Juwana). Sebab, sebagian besar air , lumpur, kotoran lain ditampung di rawa rawa wilayah Kecamatan Sukolilo dan Kayen Kabupaten Pati. Dan itu menjadi salah satu tujuan untuk “menutup “ rawa menjadi lahan pertanian serta pemukiman( kolmatase). Berhasil sukses.
Tetapi setelah itu menimbulkan masalah baru , karena lumpur semakin tahun semakin mengendap di sepanjang Sungai Juwana. Lebar sungai yang awalnya 30- 50 meter dan kedalaman lebih dari 10- 15 meter , terus menyempit serta mendangkal. Ini berakibat munculnya bencana banjir.
Oleh karena itu pemerintah mulai membangun Waduk Kedung Ombo di perbatasan wilayah Kabupaten Grobogan- Boyolali – Sragen pada tahun 1980 . Dengan membendung Sungai Serang yang berhulu di lereng timur Gunung Merbabu. Lalu “menenggelamkan “ 37 desa yang tersebar di tujuh kecamatan, sehingga tercipta waduk terbesar di Jawa Tengah yang mampu menampung 723 juta meter kubik air. Dan kemudian dioperasikan pada 1990-1991.
Kemudian ditindak-lanjuti dengan pembangunan bendung Sidorejo, Lanang, Sedadi, Dumpil dan bendung Klambu. Meski beban yang dipikul Sungai Juwana berkurang cukup signifikan, tetapi belum mampu “menyelamatkan”nya. Sebab, sungai ini juga menerima pelumpuran dari sebagian sungai yang berhulu di Gunung Muria.
Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini Balai Pengelolaan Sumber Daya Air atau BPSDA Jragung,Tuntang, Serang, Lusi ,Juwana – nama sungai yang kemudian disingkat menjadi Jratunseluna, antara lain mengalihkan sebagian besar aliran Sungai Juwana ke Sungai Wulan.
Dengan terlebih dahulu menormalisir Sungai Wulan pada 2009, sehingga mampu digelontor air/banjir hingga 1.100 - 1.200 meter kubik/detik. Meski rancang bangunnya berumur hingga 50 tahun, tetapi baru beberapa tahun sudah kembali mendangkal, menyempit dan saat debitnya baru mencapai 800-900 meter sudah memunculkan tanggul kritis, bocor, jebol , hingga banjir rutin.
Sedang sembilan pintu yang mengarah ke Sungai Juwana secara bertahap tidak difungikan. Selain rusak juga karena faktor teknis, sehingga hingga saat ini tinggal dua pintu yang dioperasikan. Yaitu pintu delapan dan sembilan. Itu pun dengan catatan hanya pintu nomor delapan yang difungsikan dengan standar operasi yang telah ditetapkan bersama. Sedang pintu nomor 1- 7 selain rusak, juga ada yang sengaja dimatikan. Hal ini yang menjadi pertanyaan sampai sekarang.
Normalisasi Sungai Juwana sendiri belum sepenuhnya tuntas, akibat biayanya sangat besar dan harus ditopang dari anggaran pusat – atau anggaran pembangunan belanja negara(APBN).(Sup)