Antara Patiayam Menjawab Dunia dan Nasib

elangmur - Jumat, 25 Juli 2025 | 05:57 WIB

Post View : 267

Diorama manusia purba (homo erectus) - di Museum Sangiran Sragen. Foto istimewa. Manusia purba tipik- dengan kapasitas otak 1.000 CC Foto istimewa

Kudus, Elang Murianews (Elmu)- Arkeolog senior Indonesia, Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, menulis buku edisi khusus dengan judul sangat menarik Sangiran Menjawab Dunia. Menjawab tentang  salah satu barometer evolusi manusia. Tentang Paleoantropologi -lmu yang mempelajari asal usul dan evolusi manusia melalui fosil atau sisa-sisa tulang yang ditinggalkan. Buku setebal 141 halaman yang dicetak ulang kedua Desember 2009 ini terbagai menjadi enam bab.Dan di Bab V, halaman 121 antara lain disebutkan, para ahli berpendapat, bahwa homo erectus atau manusia purba Patiayam dapat disejajarkan dengan manusia purba Sangiran dari formasi Kabuh yang merupakan kelompok  homo erectus tipik. Mereka hidup antara 0,9-0,3 juta tahun yang lalu.

                Homo erectus tipik, menurut  Balai Pelestarian Situs Manusia Purba  (BPSMP) Sangiran  lebih maju dibanding tipe homo erectus arkaik, merupakan bagian terbanyak dari Homo erectus di Indonesia, sebagian besar ditemukan di Sangiran dan lainnya ditemukan di Trinil (Ngawi), Kedungbrubus (Madiun), Patiayam (Kudus). Dan sejak tahun 2011 ditemukan pula di Semedo (Tegal). Konstruksi tengkoraknya lebih ramping, meskipun dahi masih landai dan agak tonggos. Kapasitas otak sekitar 1.000 cc. Hanya sayangnya, manusia  purba Patiayam yang ditemukan Sartono di akhir tahun1970 an, baru  terbatas pada sebuah gigi prageraham dan beberapa fragmen tengkorak. Lalu penemuan terakhir sejumlah peralatan  budaya keseharian. Sedang fosil lengkapnya  hingga  Kamis malam ( 24/7/2025) belum/tidak berhasil ditemukan. “Saya yang sering tidur di sejumlah tempat di Situs Patiayam, pernah beberapa kali  “diweruhi” (melihat) sosok manusia purba. Jadi menurut saya manusia purba  di sini memang ada.Dan pada saat yang tepat yang bersangkutan akan “membumi” tutur Kepala Desa Terban Kecamatan Jekulo Kudus, Supeno. Ia adalah putra asli Desa Terban.

Manusia purba progresif - dengan kapasitas otak 1.100 cc foto istmewa

          Patiayam adalah nama bukit bagian dari Gunung Muria . Dengan luas mencapai 2.902,2 hektar, yang tersebar di wilayah Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus ( 1.573,5 hektar) dan di wilayah Kecamatan Margorejo, Gembong, Tlogowungu Kabupaten Pati, 1.328,7 hektar Merupakan kawasan milik Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati Secara morfologi menurut Yahdi Zaim dari Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan kubah ( dome) dengan puncak ketinggian 350 meter di atas permukaan laut. Batuannya berumur sekitar 1 juta hingga 700.000 tahun atau pada masa plestosen yang mengandung fosil vertebrata dan manusia purba ( homo erectus). Meski belum/tidak berhasil menemukan fosil manusia purba di  Patiayam, namun di “gunung” Slumprit (bagian dari Bukit Patiayam) pada lapisan bagian bawah  terdapat banyak fosil vertebrata yang berumur paling tua  sekitar 800.000 tahun.

              Pada lapisan tersebut  terdapat endapan vulkano sediameter berupa batu pasir, kerikil dan tufa alterasi. Hal ini terkait dengan pusat eruptif Patiayam dan Gunung Muria. Gunung Muria pada awalnya berada di Selat Muria.Namun  akibat terjadinya pelumpuran  sepanjang pantai Semarang hingga Rembang yang terjadi pada abad 17-18, maka  Gunung Muria menyatu dengan daratan.

                Sedang di Sangiran, pernah ditemukan sebanyak 120 fosil manusia purba, atau lebih 50 persen  fosil serupa yang ada di seluruh dunia.  Situs Sangiran juga telah ditetapkan  Unesco sebagai Warisan Budaya Dunia pada 5 Desember 1996 dengan  nomor 593. Unesco adalah organisasi internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang membidangi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

              Sementara Situs Patiayam  secara resmi baru ditetapkan sebagai benda cagar budaya (BCB) pada 22 September 2005, berdasarkan surat keputusan Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Jawa Tengah nomor 988/102.SP/BP3/P.IX/2005.

Sejajar tapi beda nasib

            Meski banyak para ahli menyebutkan Situs Patiayam sejajar dengan Situs Sangiran dalam hal manusia purba tipik, namun dalam banyak hal  Situs Patiayam  jauh tertinggal. Meski sebenarnya, upaya untuk “mendongkrak” agar Situs Patiayam naik pamornya sudah dilakukan.. Diantaranya, pada Sabtu, 25 Februari 2006, dalam rangka memperingati hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia dan Hari Pers Nasional , PWI Pokja Kudus bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Kudus dan Puslitbang Arkeologi Nasional Jakarta menggelar seminar bertajug Pengembangan Sumberdaya Arkeologi Situs Patiayam.

                Dengan menghadirkan nara sumber antara lain : Dr Yahdi Zaim yang mengetengahkan “Patiayam Dalam Konteks Lingkungan Purba di Pulau Jawa pada kala Plestosen”, Dr Harry Widianto ( Kehidupan Manusia , Fauna dan Flora pada kala Plestosen), Dr Tony Djubianto dari Puslitbang Arkeologi ( Standar Penelitian Minimal dalam Penyelenggaraan Penelitian Arkeologi) dan Direktur Purbakala Dr Soeroso mengetengahkan Kebijakan Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Arkeologi).

                Seusai seminar, Tim Balar Jogja, bersama Puslitbang Arkeologi Nasional dan Geologi ITB Bandung diterjunkan ke Situs Patiayam, sejak 24 April – 5 Mei 2006, dan hasilnya dipaparkan juru bicara tim Harry Widianto di hadapan Bupati Kudus, M Tamzil.  Menurut Harry Widianto, distribusi temuan lebih teridentifikasi pada bagian selatan jelajah Gunung Slumprit dan sekitarnya yang merupakan daerah paling padat temuan.Formasi Slumprit merupakan satuan batuan utama pengandung fosil yang berumur antara 500.000 – satu juta tahun lalu.

            Disusul dengan terbentuknya Forum Pelestari Situs Patiayam berdasarkan surat keputusan Bupati Kudus, M Tamzil. Lalu para peneliti dari Balai Arkeologi secara bertahap kembali  berkiprah  dan menemukan cukup banyak fosil yang cukup mengagetkan dunia  arkeologi. Antara lain  fosil utuh gajah purba ( stegodon trigono chepalus), sejumlah peralatan kehidupan /budaya manusia purba, hingga Kuda Nil.

           Kemudian terakhir pada pertengahan – akhir Juni 2025,  Truman Simanjutak, memimpin tim dari Center for Prehistory Austronesia Studies (CPAS) juga terjun lagi ke Patiayam, untuk menindak-lanjuti  kegiatan serupa (ekskavasi) yang dilakukan pada Januari 2024. Termasuk melibatkan 81 mahasiswa Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya ( FIB) Universitas Indonesia ( UI)/ Bahkan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan  Rakyat (MPR), Lestari Moedijat, juga turut mengawal. Malah berperan sebagai ujung tombaknya. Untuk sementara tim menemukan fosil lengkap gajah purba jenis Elephas, yang berumur 400-500 tahun lalu. Lebih muda dari gajah purba Stegodon Trigono Chepalus yang berumur  750.000 – 1,5 juta tahun lalu.

         Apakah nasib Situs Patiayam  akan  seperti Situs Sangiran  yang bertarap internasional?. Tetapi patut disimak,  bahkan tidak ada salahnya jika ditiru pernyataan  Harry Widianto dan Truman Simanjutak dalam bukunya Sangiran Menjawab Dunia, arah pengembangan Situs Sangiran sudah sangat jelas. Yaitu sebagai pusat informasi peradaban  manusia, yang  penyebaran informasinya selalu diaktualisasi. Dan secara terus menerus disajikan kepada masyarakat luas melalui display di galeri publik. Juga yang tidak kalah penting  aspek-aspek pelestarian  selalu dikedepankan  di setiap langkah pengembangan,(sup).

Halaman:

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

img single