Kudus,Elang Murianews (Elmu)- Kaget juga ketika Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim saat acara peluncuran Badan Layanan Umum (BLU) Museum dan Cagar Budaya atau Indonesian Heritage Agency (IHA) di Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Kamis (16/5/2024)- ketika Situs Patiayam yang dikenal sebagai salah situs hominid atau manusia purba tidak termasuk diantara 18 museum dan 34 cagar budaya nasional yang ditangani BLU Museum dan Cagar Budaya.
Namun setelah berulang kali membaca banyak buku, membolak-balik undang undang, peraturan, hingga sejarah Situs Patiayam yang berada di Desa Terban Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus ini, kekagetan itu berangsur-angsur surut dan sepenuhnya bisa memaklumi.
Apalagi ketika digelar seminar hasil kajian koleksi Museum Situs Patiayam kerjasama tim Museum dan Cagar Budaya Unit Sangiran di halaman samping kanan Museum Situs Patiayam Desa Terban , Kamis ( 8/8/2024). Terkuak di dalam museum yang lahannya masih menyewa lahan milik pemeritah desa setempat terkumpul 10.529 fosil. Namun baru 43 fosil yang telah diteliti ulang dengan metode terkini. Sebagian diantaranya dipaparkan secara rinci oleh nara sumber.
Selain itu juga terungkap banyak hal tentang berbagai bentuk –macam kekurangan. Seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kudus yang dianggap lupa meninggalkan sejarah. Sebut saja terbentuknya Paguyuban Pelestarian Situs Patiayam Desa Terban dan Forum Pelestari dan Pengembangan Situs Patiayam di tingkat Kabupaten Kudus dan terselenggaranya Seminar Nasional Pengembangan Sumberdaya Arkeologi Situs Patiayam.
Seminar nasional kali pertama yang dilaksanakan Sabtu 25 Februari 2006 dalam rangka memperingati hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Hari Pers Nasional. Dan sampai dengan Kamis ( 8/8/2024) atau lebih dari 19 tahun terakhir, belum pernah diselenggarakan pagelaran serupa. “Dalam banyak hal, kami sudah memberikan yang terbaik untuk pelestarian dan pengembangan Situs Patiayam. Tetapi setelah era Bupati Kudus Musthofa (dua periode) dan era Bupati Kudus Hartopo, kami tidak pernah lagi diajak cawe-cawe. Baru hari ini, kami yang kebetulan menjadi pengurus Asosiasi Museum Indonesia Daerah (AMIDA) Jawa Tengah Pakujembaran diundang untuk hadir di seminar ini,” tutur Sancaka Dwi Supani.
Supani adalah kelahiran desa Terban Jekulo, sangat paham tentang sejarah “balung buto/ tulang raksasa” di desanya. Kemudian akhirnya bergelut dengan Situs Patiayam lewat berbagai cara secara kedinasan ( sewaktu jadi karyawan Disbudpar), secara keilmuan ( jenjang pendidikan perguruan tinggi), hingga saat ini- usai purna tugas sebagai Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kudus awal 2024.
Tidak hanya Supani yang “berdarah-darah”, tapi juga pengurus Forum Pelestari dan Pengembangan Situs Patiyam, sejumlah tokoh dan warga Desa Patiayam yang sudah meninggal atau yang masihb”sugeng”. “Ibaratnya secuil nama pun tidak tercantum dalam berbagai kegiatan tentang Situs Patiayam sekitar 15 tahun terakhir. Kami berharap Jasmerah- jangan sekali kali meninggalkan sejarah” tambah Supani yang mencomot salah satu pidato terkenal proklamator kemeredkaan RI Bung Karo (Soekarno).
Dan satu dari empat penanya yang mengajukan sejumlah kritik kepada nara sumber, menyangkut keberadaan status tanah di kawasan Bukit/Pegunungan Patiayam yang sampai sekarang belum jelas. Berdasarkan data yang diperoleh Dari Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Perum Perhutani Muria Patiayam tahun 2006, luas wilayahnya mencapai 2.902 hektar. Tersebar di Kabupaten Kudus1.573 hektar dan di Kabupaten Pati 1.329 hektar.
Namun sejak tahun 2018 dengan munculnya peraturan pemerintah pusat tentang perhutanan sosial, maka sekitar 1.700 hektar diantaranya yang sebagian besar berada di Desa Gondoharum, Terban, Klaling, Tanjungrejo Kecamatan Jekulo dan Desa Kandangmas Kecamatan Dawe Kudus beralih ke tangan