Kudus, Elang Murianews (Elmu)- Sudah sekitar 11 tahun lamanya Ngatmin (48), penduduk Desa Japan RT 04/ RW 03 Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus memproduksi biola dari bahan bambu yang konon baru kali pertama di Indonesia. Dan sejak sekitar tiga bulan terakhir merambah pada pembuatan gitar yang juga berbahan baku bambu.
Selain berbahan baku bambu, Ngatmin memang sengaja membidik hasil karyanya untuk para kolektor atau pemusik kalangan atas. Sebab tidak mungkin untuk bersaing atau kalah di “pasar bebas”. Termasuk sebagai upaya untuk memasyaratkan biola di Kota Kretek khususnya, “Agar biar jadi seperti Idris Sardi, pemain biola terkenal di Indonesia,” tuturnya.
Sedang hasil karyanya telah terjual di Jakarta, Kalimantan, Semarang hinga Malaysia, Hongkong dan tenu saja Kudus sendiri. Namun sejak munculnya kasus Covid-19, sampai sekarang pemasaran nyaris berhenti total. Saya kembali menekuni pekerjaan sebagai tukang kayu- “nguli”Pak” tuturnya saat dihubungi Elmu ,Jumat (19/2/2021). Lalu pada 13-15 Juni 2025, Ngatmin mengikuti Festival Ekonomi Kreatif (Ekraf) di Balai Jagong Wergu Wetan Kudus. “Saya tampil sebagai pelaku Ekraf, yang saat ini gencar dilakukan pemerintah. Saya mencoba keberuntungan. Siapa tahu hasil kerajinan saya semakin dikenal, sehimgga mampu menjadi penopang utama kehidupan kami sekeluarga.” Tambahnya pada Jumat ( 27/6/2025).
Ngatmin yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD) ini mengisahkan , biola berbahan baku bambu tersebut untuk kali pertama di produksi pada medio 2014 dan sebelumnya ia sudah mampu memproduksi biola berbahan baku kayu. “ Saya terinspirasi dengan suara seruling dan kulintang, dua-duanya juga dari bahan baku bambu,Saya masih tetap membuat biola dari bahan kayu. Hanya saja tidak sebanyak biola berbahan baku bambu, meski harganya dua hingga tiga kali lipat,” tambahnya.
Sedang bambu yang dipakai bahan baku pembuatan biola, adalah bambu jenis petung yang memiliki kelebihan- keunggulan untuk suara sopran- nada tertinggi untuk kaum wanita. Lalu jenis bambu wulung yang memiliki kelebihan untuk suara tenor-nada tertinggi untuk pria..Jika biola bambu ini dimainkan, memunculkan suara khas melengking –lengking, mendayu-dayu, namun begitu jernih, bening dan halus “ Seorang musisi pasti tahu untuk memilih peralatan musik- dalam hal ini biola , yang tepat untuk mengiringi pada pagelaran musik. Ini tidak bisa dijumpai pada biola yang terbuat dari kayu,” ujarnya.
Bambu petung dan wulung masih mudah ditemukan di seputar kawasan Gunung Muria. Satu batang dibeli dengan harga rata-rata Rp 100.000.( data tahun 2021) Namun hanya batang di bagian bawah dan tengah yang bisa dijadikan bahan baku pembuatan biola. Setelah terlebih dahulu dipotong-potong dan disigar (dibelah). Kemudian dilanjutkan dikeringkan di bawah terik sinar matahari selama 5-6 bulan
Proses berikutnya adalah menyambung-nyambung belahan bambu, menjadi semacam papan yang rata dan lebar. Penyambungan dilakukan dengan lem khusus yang ditanggung sangat kuat, sehingga sangat sukar untuk dipisahkan (pecah). Setelah diproses menjadi bentuk biola .Sedang kepala biola tetap menggunakan dari bahan kayu. Agar memiliki daya tarik lainnya, Ngatmin menambahi bagian belakang atau depan dengan motif ukir dari berbagai daerah. Terutama motif ukir Jepara yang sudah dikuasai, karena ia sudah beberapa tahun berprofesi sebagai pengrajin ukir di Kota Ukir.Jepara.
Sedang di bagian “kepala” biola, berhiaskan kepala ular naga., kepala manusia, Bunda Maria dan sebagainya. Khusus untuk senar dan alat geseknya, yang tidak bisa diproduski sendiri, harus membeli dari salah satu toko musik di Kudus. Tentu saja dengan produk pilihan. “Untuk satu batang pohon, setelah dipotong dan dibelah-belah, maka hanya menghasilkan maksimal tiga biola saja. Setelah selesai diproses seluruhnya, termasuk tempat untuk penyimpanan, kami menjual dengan harga – untuk biola dewasa 4/4 lengkap dari bahan kayu Rp 1.050.000 dan biola bambu Rp 3 juta/buah
IPB `
Keahlian Ngatmin membuat biola berawal dari ajakan, Amin tetangganya pada tahun 2009 yang kebetulan hobi musik dan mengampu ekstra kurikuler di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB).. Padahal, ia 1994 sudah menjadi pengrajin mebel ukir di Jepara yang diyakini penghasilannya sudah cukupuntukmenghidupikeluarganya."Karena ingin melakukan sesuatu yang berbeda, maka saya bersedia menerima tawaran membuat biola untuk memudahkan mahasiswa baru IPB dalam mendapatkan biola dengan harga terjangkau, meskipun saya juga belum bisa memainkannya," ujar nya terus terang.
Dalam membuat biola , memang tidak mudah terbukti. Selama setahun ia belum mampu membuat alat musik gesek yang suaranya enak didengar dan sesuai standar di pasaran.Setelah melakukan serangkaian uji coba dengan berbagai bahan kayu, akhirnya membuahkan hasil. Agar kualitasnya sesuai dengan biola impor, kayu yang seharusnya digunakan meliputi kayu cyprus, maple dan eboni yang hidupdi empat musim. Menngingat untuk mendapatkan kayu yang hidup di empat musim mengalami kesulitan, akhirnya dia mencoba kayu agatis yang diperoleh dari IPB, Lalu dilakukan uji coba dengan menggunakan kayu mangga bacan dan hasilnya memang tidak berbeda jauh dengan produk impor..
Sedang untuk mendapatkan kayu jenis agatis, juga cukup sulit sehingga lebih banyak menggunakan kayu mangga bacan. Setelah merasa mahir membuat biola serta bisa memainkan alat musik gesek tersebut, dia memberanikan diri pulang ke Kudus untuk berkumpul dengan anak dan istrinya pada tahun 2012 dan meneruskan usahanya itu di Kudus.. Produknya mulai dikenal masyarakat, ketika Ngatmin ikut pameran UMKM di Desa Hadiwarno, kemudian Pemkab Kudus turut membantu pemasarannya dengan mengikutsertakan dirinya dalam setiap even pameran. Dan sempat berhasil menyabet penghargaan nomor dua di Kudus maupun di Provinsi Jawa Tengah,”"Lalu secara bertahap mulai memiliki pelanggan, termasuk adanya kerja sama dengan sejumlah sekolah- guru biola di Kudus, Semarang dan Bogor yang memiliki kegiatan ekstra kurikuler di bidang musik, " ujarnya..
Mengakhiri perbincangan dengan Elmu, Ngatmin mengungkapkan ada tiga syarat untuk mampu menjadi ahli membuat biola. Yaitu memiliki keahlian di bidang pertukangan kayu, menguasai seni ukir dan sedikit banyak mengusai musik. “Khusus untuk musik, saya belajar sambil lalu. Terutama setelah merantau di ITB. Terus terang saya awalnya memang nol besar tentang musik. Setelah belajar akhirnya bisa juga,” tuturnya.(sup)