Kudus, Elang Murianews (Elmu) – Sejumlah tempat wisata di Desa Rahtawu Kecamatan Gebog Kabupayen Kudus diduga melanggar undang undang nomor 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan. Melanggar Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan nomor 28/PRT/M/2015 tentang penetapan garis sempadan sungai dan garis sempandan danau. Serta melanggar peraturan desa (Perdes) Rahtawu nomor 13/2023 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Namun sampai dengan Selasa ( 27/8/2024) pihak Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juwana, yang dianggap paling berwenang menangani masalah sungai tidak/belum menindak tegas. “Memang pernah ada inspeksi mendadak (sidak) dari BBWS Pemali Juwana, Tapi kami belum menerima rekomendasi apa-apa. Hanya tembusan peringatan saja,” tutur Kepala Desa Rahtawu Rasmadi Didik melalui Whatsapp (WA).
Dia menambahkan , inti Perdes nomor 13/2023 itu untuk memberikan kepastian hukum terkait hak dan kewajiban sebagai warga desa Rahtawu ,mengatur dari segala aspek untuk menuju green Rahtawu(rahtawu hijau). Pemdes hadir untuk membuatkan regulasi demi menjaga kelestarian alam Rahtawu.
Sedang UU nomor 9/1990 tentang Kepariwisataan pasal 6 : pembangunan objek dan daya tarik wisata dilakukan dengan memperhatikan antara lain : kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup. Lalu Peraturan Menteri PUPR nomor 28/PRT/M/2015, antara lain menyebutkan, garis sempadan sungai adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai.
Kemudian di Pasal 3 (1) Penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau dimaksudkan sebagai upaya agar kegiatan perlindungan, penggunaan, dan pengendalian atas sumber daya yang ada pada sungai dan danau dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya. (2) Penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau bertujuan agar: fungsi sungai dan danau tidak terganggu oleh aktifitas yang berkembang di sekitarnya; Kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya yang ada di sungai dan danau dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga kelestarian fungsi sungai dan danau; Dan daya rusak air sungai dan danau terhadap lingkungannya dapat dibatasi.
Garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ) huruf b, ditentukan paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
Diacak-acak
Salah satu diantara puluhan obyek wisata yang ada di Desa Rahtawu, yaitu Lenk Dopang Rahtawu (LDR). Berada di wilayah padukuhan Semliro. Sekitar dua kilometer dari Kantor Pemerintah Desa (Pemdes) Rahtawu. Di sisi kanan jalan raya dan hanya beberapa meter dari jembatan beton.,
Obyek wisata ini di bagian pintu masuk, terdiri halaman berlantai tanah dan bangunan permanen tempat parkir. Biaya parkir motor tertulis Rp 3.000,-. Tetapi ketika Minggu (25/8/2024) Elang Murianews menyodorkan uang lembaran Rp 20.000,-, pengembaliannya hanya Rp 15.000,-. Petugas parkir yang masih muda ini dengan entengnya menilep Rp 2.000,-
Kemudian selepas memarkir motor, masuk ke kawasan obyek wisata, dengan terlebih dahulu membayar Rp 10.000,- . Dan setelah itu lebih dari setengah jam, secara leluasa melihat, mengamati, mencermati hingga mengambil foto lokasi.
Kesimpulannya : obyek wisata berada di badan Sungai Gelis, yang didominasi batu-batuan ukuran kecil hingga “segedhe” seekor kerbau hingga seekor gajah. Ini mempertegas tentang Rahtawu yang juga dikenal sebagai daerah-zona megalitik (batu batu besar)
Sungai ini tidak memiliki tanggul. Di sisi kiri (dari atas), berupa “dinding” batu-batuan”, bukit dengan berbagai macam pohon besar. Diantaranya diselingi lahan pertanian-perkebunan. Sedang di sisi kanan sejajar dengan jalan raya beraspal.
Sungai Gelis menurut jurnal studi teknik lingkungan Fakultas Teknik Unversitas Diponegoro (Undip) Semarang, merupakan sungai yang “membelah kota Kudus”. Berhulu di Desa Rahtawu dan berhilir di Desa Jati Wetan Kecamatan Jati. Panjangnya 32 kilometer , dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebesar 140,94 kilometer persegi.
Sedang lebarnya tidak diketahui secara pasti. Tetapi khusus yang dimanfaatkan LDR sekitar 50 meter. Lebar sungai ini dipersempit dengan dibangunnya jalan baru. Sebagian tebing sungai yang berada sejajar jalan raya dihancurkan yang sebagian di rombak untuk bangunan permanen, Sebagian yang masih tersisa untuk fasilitas jalan undhak-undhakan yang belum disempurnakan.
Selain jalan, di lokasi ini dibangun dua kolam renang yang letaknya berdampingan. Satu di bagian atas, satunya lagi di bagian bawahnya. Di seputar kolam dibangun pula sejumlah taman mini, yang dilengkapi meja, kursi, hingga lahan untuk lesehan. Dengan fasilitas tersebut, pengunjung bisa memesan aneka jenis makanan/masakan, minuman, sambil menikmati batu-batu “kerbau dan gajah” gemericiknya aliran sungai.
Sedang di bagian “pangkal “ sungai beberapa puluh meter dari badan jembatan, sengaja sebagian diantaranya sengaja dibeton, agar aliran air bisa dbelokkan ke arah sisi bukit. Dari bawah jembatan hingga penunjang fasilitas wisata ini panjangnya hampir seratus meteran.
Belum diketahui secara pasti siapa pemilik usaha wisata ini. Konon milik salah satu anggota polisi. Juga tidak diketahui secara pasti proses pembangunannya, proses perijinannya. Tapi terkesan adanya unsur takut dari banyak pihak untuk “membongkar kasus “ ini. Terkesan kebal hukum dan sering dijadikan obyek pemerasan berbagai oknum tertentu, yang hanya berpikir “cekak”untuk memperoleh cuan. Tidak berpikir jauh untuk keselamatan lingkungan.
Di awal tulisan ini telah tersaji berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan pihak pengelola LDR Desa Rahtawu selain menyandang sebagai desa wisata yang cukup menonjol di Kudus, tetapi juga sebagai desa dengan predikat penyandang bencana tanah longsor dan banjir bandang. Nyaris setiap tahun terjadi dengan tingkat kerusakan ringan sampai berat.
Termasuk daerah sesar atau patahan - merupakan fenomena retakan di permukaan bumi di mana dua blok batuan telah bergerak aktif terhadap satu sama lain. Pergerakan tersebut, bisa mengakibatkan gempa bumi yang dapat berdampak besar pada kehidupan dan infrastruktur di atas permukaan tanah. Peta sesar itu memanjang sejak desa/gunung Rahtawu hingga Tuban Tuban Jawa Timur.
Data dan fakta yang tidak terbantahkan ini, dilanggar tahap deni tahap. Dengan membalut berupa sebagai desa wisata, Dengan iming iming lapangan kerja baru, penghasilan yang lumayan hingga menggiurkan. Namun lupa ketika suatu saat alam “bangkit dan murka” habitatnya diacak-acak – diobrak abrik. Mumpung “nasi belum jadi bubur”, tertibkan hingga penggusuran terhadap bangunan di “dalam” sungai Gelis yang memang melanggar-menabrak aturan hingga perundangan.(sup)