Pokir, Aspirasi dan Transaksi.

elangmur - Senin, 2 Desember 2024 | 16:29 WIB

Post View : 147

Saat pelantikan- anggota DPRD Kudus periode 2024-2029. Foto istimewa

Kudus, Elang Murianews (Elmu) – Penjabat Bupati Kudus, Hasan Chabibie,menjanjikan adanya tambahan anggaran untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (Koni) pada APBD 2025 dari Rp 1 miliar  menjadi Rp 3 miliar. Tambahan itu berasal dari anggaran pokok pokok pikiran (Pokir) DPRD Kudus.

                Pokir menurut Galih Fachrudin Qurbany, Direktur Pusat Analisa Kebijakan dan Informasi Strategis dan aktivis 98, adalah produk usulan hasil reses  anggota DPRD. Reses yang menghasilkan sejumlah usulan-usulan yang berasal dari konstituens anggota DPRD di daerah pemilihannya masing-masing. Ini senada dengan yang menyatakan bahwa pokir adalah usulan aspirasi. Dengan demikian pokir DPRD sesungguhnya adalah nomenklatur yang mirip dengan “penjaringan aspirasi masyarakat”,(Jaring Asmara ) sebagaimana pernah tercantum dalam PP 1/2001 dan PP 25/2004 yang pada pokoknya menyatakan anggota DPRD mempunyai kewajiban menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Pimpinan DPRD Kudus 2024-2029- Masan, ketua (kiri), Mukhasiron, Sulistyo Utomo dan Anis H sebagai wakil Ketua : Foto istimewa

               Istilah pokir juga tercantum pada Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 adalah salah satu tugas Badan Anggaran DPRD “memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD”.

          Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun tersebut,  ini harus dibaca dan dipahami sebagai berikut: (1) penyampaian pokir DPRD adalah tugas Badan Anggaran (Banggar) DPRD sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD. Jadi hanya Badan Anggaran DPRD yang memiliki tugas ini; (2) disampaikan kepada kepala daerah. Hal ini karena tidak ada ketentuan yang berbunyi pemerintah daerah atau kepala daerah atau yang mewakilinya, maka penyampaian pokir disampaikan langsung kepada kepala daerah (3) Pokir  sebatas saran dan pendapat. Dalam konteks hukum, saran dan pendapat tidak bersifat mengikat atau suatu keharusan untuk dilaksanakan. Jadi Banggar DPRD menyampaikan saran dan pendapat kepada kepala daerah, keputusan menerima atau menolak saran dan pendapat itu ada sepenuhnya pada kepala daerah, dan (4) disampaikan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum APBD ditetapkan.

              Jadi sangat jelas dalam PP 16/2010 menegaskan bahwa “aspirasi masyarakat” berbentuk pokir DPRD tersebut menjadi tugas Banggar DPRD menyampaikannya kepada kepala daerah. Tetapi penjelasan itu tidak mengurangi pelbagai masalah yang akan muncul perihal pokir DPRD. Masalah tersebut  antara lain:  pokir disampaikan paling lambat 5 bulan sebelum APBD ditetapkan tapi dalam prakteknya ditemukan adanya perbedaan waktu reses dan frekwensi pembahasan APBD. Reses DPRD dilaksanakan 3 (tiga) kali dalam setahun yaitu bulan April, Agustus dan Desember.

          Sementara frekwensi pembahasan APBD hanya terjadi dua kali: pembahasan APBD (murni ) dan APBD perubahan, yakni selambatnya bulan Desember untuk APBD (murni) dan bulan September tahun berjalan untuk APBD perubahan. Sedangkan ketentuan penyampaian pokir DPRD selambatnya 5 (lima) bulan sebelum penetapan APBD. Namun dalam perakteknya ketentuan ini sering dipandang sebelah mata DPRD karena sering usulan berupa pokir masuk injury time menjelaskan ditetapkannya APBD.

             Masalah kedua, apa wujud output dokumen dari pokir DPRD tersebut?. Secara kelembagaan, seharusnya pokir harus dalam bentuk keputusan pimpinan DPRD. Hal ini untuk menghindari klaim sepihak baik oleh anggota, pimpinan, komisi atau Banggar baik secara lisan maupun tertulis bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah pokir DPRD. Yang terjadi digarut malah bupati melalui Bapeda meminta daftar usulan pokir kepada DPRD .

               Sementara tata tertib DPRD maupun PP 16/2010 tidak mengurai secara terperinci bagaimana mekanisme dan tata cara hingga melahirkan dokumen negara yang disebut pokir DPRD. Ada keterputusan antara Tim Inventarisasi Hasil Reses yang mengkompilasi dan menilai laporan reses dari semua anggota DPRD kepada output berupa pokir DPRD yang selanjutnya diserahkan kepada Banggar. Ketidakjelasan ini, mengakibatkan masing-masing anggota, komisi bahkan fraksi dan bahkan mengatasnamakan kepentingan pribadi anggota dewan  bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pokir DPRD dan terkesan menjadi ajang perlombaan sebanyak banyaknya mendapatkan anggaran dan semakin banyak anggaran semakin banyak pula keuntungan cash back yang bisa diraih.

Atas Ketidakjelasan apa itu pokir DPRD beserta mekanisme dan tata cara penyampaiannya berakibat munculnya praktek-praktek penyalahgunaan istilah “pokir”  anggota DPRD. Penyalahgunaan itu antara lain berwujud:

(1) diasumsikan pokir adalah hak anggota DPRD karena berasal dari laporan hasil reses di masing-masing daerah pemilihan. Anggota DPRD melakukan “penitipan proyek” di RAPBD baik secara perserorangan maupun lewat komisi atas nama pokir DPRD. Pembahasan RAPBD antara Komisi DPRD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) berujung pada usulan proyek tertentu dengan mengatasnamakan pokir DPRD. Padahal ketentuannya, pokir DPRD merupakan tugas Banggar untuk menyampaikannya.

(2) dalam perkembangannya pokir berubah wujud menjadi dana jenis-jenis kegiatan atau disebut dana pokir. Titik tekannya pada sejumlah usulan dana, bukan pada perjuangan aspirasi dan usulan yang terangkum dalam pokir. pokir adalah “teknik dan jurus siluman”anggota DPRD dalam menggasak APBD. Karena berdasarkan aturan penyampaian pokir 5 (lima) bulan sebelum penetapan APBD, masih dalam tahapan pembahasan RKPD (Rencana Pembangunan Tahunan Daerah) hingga pembahasan Kebijakan Umum APBD (KUA). Dimana belum bicara tentang jenis-jenis kegiatan dan satuan harga. Jenis-jenis kegiatan dan satuan harga baru terjadi pada tahap pembahasan RKA-SKPD. Tapi prakteknya, saat pembahasan RKA-SKPD inilah dana pokir disusupkan. Karena jenis kegiatan sudah jelas berupa angka-angka nominal..

(3)dalam perkembanganya “pokir” menjadi semacam sandi rahasia berupa kode untuk memainkan APBD. Istilah “pokir” telah diketahui umum dikalangan DPRD dan Pemerintah Daerah untuk menitipkan sejumlah proyek-proyek tertentu dalam APBD. Oleh karenanya istilah “pokir” tidak lagi dimaknai sebagai pokok-pokok pikiran DPRD. Dan proses pengajuan “pokir” sebagai kode dilakukan semua pihak diluar Banggar dan diajukan tidak lagi bersandar pada batas waktu maksimal lima bulan. Pokoknya “pokir” diajukan sebelum RAPBD diserahkan kepada Kemendagri. Karena “pokir” yang diajukan menjelang penetapan APBD maka tidak heran jika jenis kegiatan yang diusulkan keluar dari program prioritas dan pagu anggaran yang tertera dalam PPAS.

               Pokir juga merupakan ladang duit bagi anggota dewan. Anggota Dewan menjadikan  pokir sebagai penghasilan tambahan diluar gaji ,tunjangan dan SPPD, Intinya, ini urusan perut,”. Dana pokir yang dapat diusulkan berkisar diangka Rp 50 – 200 juta per judul. Masing-masing anggota DPRD dapat mengajukan hingga puluhan judul pokir, meskipun konon jatah pakir terbatas pada nilai nominal tertentu. tapi faktanya sangat berbeda jumlah akumulasi usulan dari masing-masing dewan baik dari sisi struktur AKD maupun kelincahan individu anggota dewan dalam melakukan loby-loby kepada SKPD dibawah koordinasi / mitra kerjanya .

                 Padahal berdasar tinjauan  legal formal dan sosio politik, sangat jelas dan terang  POKIR adalah program legal dan legitimate yang dimiliki oleh setiap anggota dewan bahkan sebuah program yang mulia bagi masyarakat didaerah pemilihannya untuk diperjuangkan dan direalisasikan secara benar. Sebab dalam kenyataannya masih banyak masyarakat yang merasa belum merasa mendapatkan keadilan dalam pembanguan baik fasilitas fisik maupun non pisik dari pemerintah yang harus terus diperjuangkan hak-haknya oleh anggota dewan yang mewakili masyarakatnya.(sup).

Halaman:

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

img single