Antara Tari Kretek, Rekor Muri dan Pelestarian

elangmur - Sabtu, 22 Februari 2025 | 09:17 WIB

Post View : 447

Penari Tari Kretek- yang berada di Sanggar Tari Puring Sari . Foto : puring sari

Kudus, Elang Murianews (Elmu) – Sabtu sore (22/2/2025) Pemkab Kudus menggelar Tari Kretek di seputar Alun Alun Simpang Tujuh yang akan diikuti sekitar 1.600 penari. Dan bakal tercatat sebagai rekor Museum rekor dunia Indonesia (Muri). Rekor menurut kamus besar bahasa Indonesia  berarti  : hasil terbaik, jumlah terbanyak atau terbaik.

                Tari Kretek merupakan tari kreasi baru khas Kudus yang hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Merupakan tari hiburan atau tari penyambutan, bisa menjadi pementasan pembukaan atau penutupan, tergantung dari acara yang digelar. Diciptakan seniman Endang Tony beserta suaminya Supriyadi  pada tahun 1986. Dan pertama kali dipentaskan pada waktu peresmian Museum Kretek, 3 Oktober 1986 yang dipentaskan 500 orang penari sekaligus.

               Sedang gagasan  Tari Kretek muncul  dari Gubernur Jawa Tengah  Soeparjo Roestam  ketika meletakkan batu pertama Museum Kretek  dan  menyakasikan potensi kontribusi usaha kretek, dalam menggerakkan perekonomian daerah. Gagasan tersebut diterima baik Pemkab Kudus (Bupati Kudus, Kolonel Inf Soehartono) yang kemudian  menugaskan Kepala Seksi Kebudayaan  Kudus Dwijo Sumono, untuk menindak lanjuti dan akhirnya mempercayakan kepada seniman Endang Tony dan suaminya Supriyadi. “Saya  sekitar dua minggu  terjun langsung ke lokasi para buruh rokok di perusahaan rokok Djarum  untuk menyerap nadi aktivitas serta latar belakang kehidupan pekerja dan perusahaan,” tutur Endang Tony, pemilik Sanggar Tari Puring Sari yang didirikan pada tahun 1980.

               Tari Kretek , mengandung nilai agama yang terkandung dalam pada salah satu kostum dan aksesoris yang dikenakan pada penari perempuan yaitu caping kalo. Yang dipakai dikepala penari perempuan berbentuk bulat, memiliki makna bahwa setiap manusia wajib berpasrah dan berserah diri secara bulat kepada Sang Maha Pencipta.  Caping kalo (nacapi kuping) yang berarti supaya manusia mampu menutup telinga terhadap suara_suara negatif yang merugikan kehidupan.

                Nilai estetika, pada tari kretek terdapat pada gerakan saat penari perempuan memainkan tampah sebagai propertinya, yakni gerak napeni. Gerak yang dilakukan  saat kedua tangan memegang tampah dan tampah diayunkan ke atas dan ke bawah lalu ke kanan dan ke kiri dengan perlahan, disinilah bergerak menggunakan tampah lebih dominan dan terlihat nilai estetikanya.Selain unik, menari menggunakan tampah memiliki ciri khas yang jarang ditemukan pada tarian lainnya.

               Selain pada properti, terdapat pula nilai estetika pada salah satu kostum yang menonjol, yaitu caping kalo atau tutup kepala, salah satu kostum tersebut juga bisa dikatakan memiliki nilai estetika yang tinggi dan juga unik, sebab bentuk tutup kepala yang menyerupai tampah tersebut dapat membuat penari terlihat lebih cantik saat memakainya.

               Nilai etika sering dikaitkan dengan nilai moral, akhlak dan budi pekerti manusia. Hubungan nilai etika pada tari kretek dapat digambarkan pada salah satu gerakannya yakni sembahan, gerak sembahan juga dilakukan sebagai nilai etika, yaitu penghormatan penari putri terhadap penari putra, jika dijelaskan pada kegiatan di dalam pabrik yaitu tentang buruh rokok yang patuh dan memberikan penghormatan terhadap mandor yang tugasnya mengawasi berjalannya proses pembuatan rokok.

               Selain itu terdapat pula pada dua aksesoris yang dikenakan penari yakni Suweng beras kecer/Babon angkrem. Aksesoris ini merupakan aksesori yang dikenakan oleh penari perempuan yang memiliki makna agar jangan berbuat gegabah, jangan tergesa_gesa berbuat meskipun dibakar kerasnya suara dan informasi yang membangkitkan amarah. Tutup telinga rapat-rapat dan redam suara negatif meskipun menyakitkan hati, karena semua cercaan, hinaan dan cemoohan serta ejekan adalah pundi-pundi kebahagiaan.

               Sedangkan pada aksesoris selanjutnya yakni blangkon/ikat kepala yang dikenakan  penari putra yang memiliki arti agar bersikap lebih terbuka dan jangan suka memberi perintah kepada orang lain. Lindungi otak dari segala gangguan, ikat seerat mungkin tekad demi kebagusan (kebaikan).

               Nilai budaya merupakan sesuatu yang menjadi sebuah kebiasaan dilingkungan masyarakat tertentu yang dilakukan sejak dahulu kala dan masih dipertahankan hingga saat ini. Sama halnya dengan tari kretek yang memiliki tradisi mengolah tembakau menjadi kretek dengan cara-cara tradisional, proses tersebut sudah dilakukan sejak dahulu kala dan masih dipertahankan hingga sekarang. Meski seiring berjalannya waktu, meningkatnya teknologi canggih yang dapat digunakan secara instan, namun tradisi proses pembuatan rokok pada zaman dahulu yang di menginterpretasikan dalam tari kretek.

               Nilai sosial yang terkandung dalam tari kretek, yaitu pada gerakan dimana terdapat gerakan penari perempuan saat akan menyerahkan hasil proses pembuatan rokok dan dibantu  mandor untuk segera disortir.               

               Rokok Kretek kali pertama ditemukan Haji Jamhari pada tahun 1881, yang meracik cengkih dengan tembakau untuk meredakan rasa sakit di dadanya (sumber Kantor Bea Cukai Kudus) Termasuk Mbok Nasilah, yang menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan menginang di warungnya  yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus. Ia menyuguhkan  temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya ( sumber Djarum).

               Sedang yang dijuluki Raja Kretek adalah Nitisemito. Dia mengangkat usaha rokok rumah tangga menjadi industri skala besar. Ditandai dengan membangun perusahaan rokok cap Bal Tiga yang menyerap 15.000 tenaga kerja  di lahan seluas 14 hektar pada tahun 1914.

             Kini menurut Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Kudus, di wilayah kerjanya tercatat 198 perusahaan rokok dan  112 diantaranya berada di Kabupaten Kudus.  Sedang tenaga kerja yang terserap lebih dari 80.000 orang dan sebagian besar  pekerja perempuan.

Buruh rokok di Kudus - Foto Dwi Oblo.

 

Bentuk Pelestarian.

               Menurut Zid Afiati Aprilia dari Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja, Tari Kretek penting untuk dilestarikan melalui pemerintah maupun seniman. Agar  warisan budaya yang adi luhung ini tetap lestari, tanpa harus kehilangan hidupnya. Bahkan membuatnya agar senantiasa dapat menciptakan iklim merdeka dalam mewujudkan apresiasi seniman dan masyarakatnya . Melestarikan itu sendiri merupakan upaya perlindungan dan pengelolaan dari kemusnahan atau kerusakan, menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kualitas nilainya.

               Melestarikan Tari Kretek juga tidak terlepas dari seni pertunjukan.Sebab “seni” tidak ada artinya tanpa adanya penonton, pendengar, pengamat, untuk memberi apresiasi, tanggapan atau respons. Seni pertunjukan dapat dianggap sebagai “seni waktu” yang bersifat “kesaatan”, karna sesungguhnya tidak untuk kepentingannya sendiri (seni untuk seni), melainkan kesenian itu baru dapat berarti atau bermakna apabila diamati atau mendapatkan respon. Sehubungan dengan itu, hubungan antara tontonan dan masyarakat atau pengamat menjadi sangat berati sebagai proses komunikasi.

                Sedang struktur masyarakat Kudus pada abad ke-15 terdiri dari penganut agama hindu_budha, dan penganut agama kepercayaan dari ajaran kejawen kuno. Dalam perkembangan agama Islam di Indonesia, Kudus merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang bersejarah. Ini nampak dari peninggalan-peninggalan yang ada seperti Menara Masjid Al Aqsa, masjid Madureksan, masjid Bubar dan lainnya. Perkembangan satu agama di mana pun, akan terpengaruh oleh kebudayaan yang ada pada waktu itu. Demikian juga ketika agama Islam berkembang di daerah Kudus dan sekitarnya, Islam terpengaruh berbagai kebudayaan dan agama sebelumnya.

                 Bagi penduduk Kudus sifat animisme dan dinamisme ini tampaknya tidak berubah, justru bertambahnya dengan timbulnya suatu akulturasi (kultur baru dari beberapa kultur). Misalnya pada upacara Buka Luwur (penggantian kelambu makam) ,baik sunan Kudus, maupun Sunan Muria. Orang datang berbondong-bondong dengan berbagai maksud, ada yang ingin mendapatkan sobek kain Luwur untuk dijadikan jimat, atau ada pula yang berharap mendapatkan sebungkus nasi, nasi dikeringkan, lalu ditaburkan di pesawahan agar subur dan sebagainya.

                Rekor Muri - juga dianggap penting untuk mendorong masyarakat Indonesia semakin maju dan berusaha mencatatkan namanya. Muri yang telah menjadi lembaga swadaya masyarakat juga bertugas menghimpun data, serta menganugerahkan prestasi superlatif dan karya dari masyarakat Indonesia yang ada. Menurut Jaya Suprana , pendiri Muri : pencatatan rekor menjadi penting karena  menjadi kekayaan intelektual dan warisan budaya kita. Dapat memantik kesadaran masyarakat, menginspirasi masyarakat banyak, dapat menjaga kondisi pikiran dan menta, serta  tidak mengedepankan ego.(Sup.)

Logo Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri)- yang didirikan Jaya Suprana Foto istimewa.

 

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

img single