Nilai budaya merupakan sesuatu yang menjadi sebuah kebiasaan dilingkungan masyarakat tertentu yang dilakukan sejak dahulu kala dan masih dipertahankan hingga saat ini. Sama halnya dengan tari kretek yang memiliki tradisi mengolah tembakau menjadi kretek dengan cara-cara tradisional, proses tersebut sudah dilakukan sejak dahulu kala dan masih dipertahankan hingga sekarang. Meski seiring berjalannya waktu, meningkatnya teknologi canggih yang dapat digunakan secara instan, namun tradisi proses pembuatan rokok pada zaman dahulu yang di menginterpretasikan dalam tari kretek.
Nilai sosial yang terkandung dalam tari kretek, yaitu pada gerakan dimana terdapat gerakan penari perempuan saat akan menyerahkan hasil proses pembuatan rokok dan dibantu mandor untuk segera disortir.
Rokok Kretek kali pertama ditemukan Haji Jamhari pada tahun 1881, yang meracik cengkih dengan tembakau untuk meredakan rasa sakit di dadanya (sumber Kantor Bea Cukai Kudus) Termasuk Mbok Nasilah, yang menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan menginang di warungnya yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus. Ia menyuguhkan temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya ( sumber Djarum).
Sedang yang dijuluki Raja Kretek adalah Nitisemito. Dia mengangkat usaha rokok rumah tangga menjadi industri skala besar. Ditandai dengan membangun perusahaan rokok cap Bal Tiga yang menyerap 15.000 tenaga kerja di lahan seluas 14 hektar pada tahun 1914.
Kini menurut Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Kudus, di wilayah kerjanya tercatat 198 perusahaan rokok dan 112 diantaranya berada di Kabupaten Kudus. Sedang tenaga kerja yang terserap lebih dari 80.000 orang dan sebagian besar pekerja perempuan.
Bentuk Pelestarian.
Menurut Zid Afiati Aprilia dari Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja, Tari Kretek penting untuk dilestarikan melalui pemerintah maupun seniman. Agar warisan budaya yang adi luhung ini tetap lestari, tanpa harus kehilangan hidupnya. Bahkan membuatnya agar senantiasa dapat menciptakan iklim merdeka dalam mewujudkan apresiasi seniman dan masyarakatnya . Melestarikan itu sendiri merupakan upaya perlindungan dan pengelolaan dari kemusnahan atau kerusakan, menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kualitas nilainya.
Melestarikan Tari Kretek juga tidak terlepas dari seni pertunjukan.Sebab “seni” tidak ada artinya tanpa adanya penonton, pendengar, pengamat, untuk memberi apresiasi, tanggapan atau respons. Seni pertunjukan dapat dianggap sebagai “seni waktu” yang bersifat “kesaatan”, karna sesungguhnya tidak untuk kepentingannya sendiri (seni untuk seni), melainkan kesenian itu baru dapat berarti atau bermakna apabila diamati atau mendapatkan respon. Sehubungan dengan itu, hubungan antara tontonan dan masyarakat atau pengamat menjadi sangat berati sebagai proses komunikasi.
Sedang struktur masyarakat Kudus pada abad ke-15 terdiri dari penganut agama hindu_budha, dan penganut agama kepercayaan dari ajaran kejawen kuno. Dalam perkembangan agama Islam di Indonesia, Kudus merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang bersejarah. Ini nampak dari peninggalan-peninggalan yang ada seperti Menara Masjid Al Aqsa, masjid Madureksan, masjid Bubar dan lainnya. Perkembangan satu agama di mana pun, akan terpengaruh oleh kebudayaan yang ada pada waktu itu. Demikian juga ketika agama Islam berkembang di daerah Kudus dan sekitarnya, Islam terpengaruh berbagai kebudayaan dan agama sebelumnya.